AKSARALOKA.COM, PONTIANAK – Merasa tanah yang dimilikinya dirampas, seorang warga Pontianak berusaha memperjuangkan tanah haknya seluas 20 hektar lebih di Desa Wajok Hulu, Kecamatan Jongkat, Kabupaten Mempawah.
Pada Oktober 2006 ketika gudang milik Flavianus Fexa di KM 10,9, Desa Wajok Hulu, Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah disewa oleh seseorang berinisial CP dengan harga Rp 75juta per tahun.
Tidak beberapa lama, penyewa pun tertarik untuk membeli sebagian lahan yang sudah ada fisik bangunan seperti gudang, pabrik dan mess karyawan. Dengan kesepakatan nilai jual saat itu sebesar Rp2,2 miliar.
Untuk transaksi jual beli tersebut dibuatlah perjanjian awal di kantor notaris dengan harga jual senilai Rp2,2 miliar. Dalam perjanjian awal itu disebutkan uang muka sebesar Rp1,6 miliar lebih yang harus dibayar.
Saat pelaksanaan jual beli di hadapan notaris, pembeli membawa koleganya berinisial GT, yang akhirnya diketahui merupakan bos dari perusahaan CP dan pembeli tanah sebenarnya.
“Karena memang niatnya ingin membeli, sehingga proses awal jual beli dilanjutkan,” katanya.
Lanjut Feda, usai proses perjanjian awal dilakukan, uang muka sebesar Rp1,6 miliar lebih tersebut hingga saat ini tidak pernah dibayarkan.
Saat penandatangan kuitansi jual beli, Fexa mengakui dirinya menandatangani kuitansi meski uang belum diserahkan, karena alasan dari pembeli untuk bukti pencairan uang oleh perusahaan di Jakarta.
Betapa kagetnya Fexa ketika di tahun 2016, dirinya tiba-tiba digugat oleh GT ke Pengadilan Negeri (PN) Pontianak dengan objek perkara wanprestasi. Di mana dalam putusannya majelis hakim mengabulkan permohonan penggugat meski dalam fakta persidangan saksi-saksi dari notaris dan perwakilan bank menerangkan bahwa uang muka pembayaran jual beli itu tidak pernah dibayarkan.
Atas putusan tersebut dirinya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pontianak yang memutus membatalkan putusan PN Pontianak.
“Gunawan Tjandra lalu mengajukan kasasi. Oleh MA diputus dengan menganulir putusan banding dan mengembalikan putusan semula yakni PN Pontianak,” ungkapnya.
Pihaknya lalu mengajukan peninjauan kembali ke MA atas perkara wanprestasi tersebut. Serta melakukan perlawanan terhadap putusan kasasi MA tersebut dengan membuat laporan dugaan perbuatan tidak terpuji tiga majelis hakim beserta panitera PN Pontianak yang menangani perkara gugatan wanprestasi tersebut ke Badan Pengawasan Hakim di Mahkamah Agung.
“Namun laporan tersebut oleh MA dianggap tidak terbukti. Sementara pada putusan PK, MA juga menguatkan putusan kasasi,” jelasnya.
Tidak terima dengan putusan pengadilan yang memenangkan penggugat, Fexa terus berjuang mencari keadilan.
Fexa pun sempat menggugat CP ke PN Mempawah dengan objek perkara sewa menyewa lahan. Dalam persidangan tergugat, CP mengajukan bukti berupa putusan gugatan wanprestasi yang dikeluarkan PN Pontianak.
Menurutnya Majelis Hakim PN Mempawah saat itu memutus menolak gugatan sewa menyewa tersebut. Putusan tersebut dikuatkan dengan putusan banding Pengadilan Tinggi Pontianak. Namun putusan PN Mempawah dan Pengadilan Tinggi Pontianak tersebut akhirnya digugurkan dengan putusan kasasi.
Lanjut Fexa, Majelis Hakim MA mengabulkan permohonan dirinya dengan putusan menyatakan bahwa tergugat, CP terbukti wanprestasi dan menghukum tergugat untuk membayar sewa gudang sebesar lebih dari Rp1,7 miliar.
“Terhadap putusan kasasi yang dikeluarkan pada 10 September 2019 itu, hingga hari belum dilaksanakan eksekusi meski sudah saya mohonkan ke PN Mempawah,” jelasnya.
Putusan kasasi atas perkara sewa menyewa tersebut disebutkan Fexa adalah bukti bahwa terhadap putusan perkara wanprestasi yang diajukan GT di PN Pontianak terjadi permainan, rekayasa dan pengaburan fakta-fakta persidangan.
Setelah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap atas perkara sewa menyewa gudang miliknya itu, pada Januari 2022 Fexa menerima surat teguran dari PN Pontianak yang didelegasikan kepada PN Mempawah agar dirinya sebagai tergugat untuk menyerahkan secara sukarela mengosongkan dan menyerahkan objek perkara yakni lahan seluas 20 hektar lebih di Desa Wajok Hulu, Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah kepada penggugat, GT.
Terhadap surat teguran tersebut dirinya melakukan perlawanan dengan melayangkan surat untuk mempertanyakan legalitas surat teguran yang dikeluarkan PN Pontianak. Karena, permohonan sita eksekusi yang dimohonkan oleh kuasa hukum GT dianggap dirinya sudah tidak sah, lantaran kliennya yakni GT sudah meninggal sesuai dengan surat kematian yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta pada 2021 yang terungkap dalam sidang di PN Mempawah.
“Pemohon eksekusi sudah meninggal pada 2021. Lalu pada 2022 melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan eksekusi. Ini kan jelas aneh dan apa legalitas kuasa hukumnya,” ungkap Fexa.
Lanjutnya, pada April 2022 ahli waris almarhum GT mengajukan konsinyasi ke PN Pontianak agar dirinya menerima uang sebesar Rp 1,6 miliar. Namun penawaran tersebut dirinya tolak, meski uang tersebut telah disetorkan ahli waris ke PN Pontianak.
“Besaran penawaran tersebut sama persis dengan uang muka yang harusnya dibayarkan mereka sejak awal perjanjian. Tapi saya tolak, karena harusnya niat baik itu dilakukan sejak dulu bukan setelah adanya gugatan,” ujarnya.
Fexa menyatakan dengan adanya pengajuan konsinyasi, itu membuktikan bahwa almarhum GT beserta koleganya CP berbohong saat bersaksi di pengadilan dengan mengatakan telah membayar uang muka tersebut.
Lalu pada 3 Juni 2022 Fexa menerima surat konstatering dari PN Pontianak didelegasikan kepada PN Mempawah untuk melaksanakan pencocokan objek perkara berupa lahan seluas 20 hektar lebih di Desa Wajok Hulu.
Terhadap pelaksanaan pencocokan objek perkara tersebut dirinya pun kembali melakukan perlawanan dengan melayangkan surat sanggahan atas pelaksanaan surat pelaksanaan pencocokan objek perkara tersebut.
“Sesuai dengan pasal 183 KUHPerdata, surat kuasa hukum tergugat sudah berakhir karena Gunawan Tjandra sudah meninggal. Sehingga permohonan eksekusi dan rentetannya cacat administrasi,” lugasnya.
Fexa juga mengajukan surat protes kepada PN Mempawah menolak pelaksanaan pencocokan objek perkara. Karena permohonan eksekusi oleh orang yang sudah meninggal tidak dapat dibenarkan oleh hukum.
Pada 27 Mei 2022 Fexa kembali mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Pontianak terhadap ketiga hakim dan panitera PN Pontianak yang menangani perkara wanprestasi saat itu. Di mana gugatan tersebut saat ini sudah sampai tingkat kasasi di MA.
“Sampai saat ini masih menunggu putusannya,” ucapnya.
Namun pada 22 Juni 2023, Fexa malah menerima surat pemberitahuan sita eksekusi dari PN Pontianak, yang dilaksanakan pada Rabu 5 Juli 2023. Dua hari sebelum pelaksanaan eksekusi, dirinya mengajukan gugatan bantahan eksekusi ke PN Pontianak. Dimana gugatan tersebut sampai dengan sekarang masih berlangsung.
“Namun saat proses hukum masih berlangsung, PN Pontianak malah mengeluarkan surat sita eksekusi kepada PN Mempawah untuk melaksanakan eksekusi objek perkara,” jelasnya.
Fexa kemudian menggugat surat sita eksekusi yang diterbitkan PN Pontianak ke Pengadilan Tata Usaha Negara Pontianak. Namun kembali kandas karena Hakim PTUN Pontianak menolak gugatan tersebut.
Fexa menyampaikan dirinya akan terus berjuang sampai kapan pun untuk merebut kembali hak-haknya yang sudah dirampas.
“Uang tidak pernah dibayarkan, lahan 20 hektar lebih beserta bangunan yang berdiri di atasnya dirampas oleh orang yang tidak berhak memilikinya,” tutupnya.