Oleh : Charmyllia, S.T., M.P.W.K (Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Tanjungpura)
Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, kini menghadapi ancaman serius: banjir yang semakin sering dan parah. Sebagai kota yang terletak hampir sejajar dengan permukaan laut, kombinasi antara tata ruang yang buruk, eksploitasi sumber daya alam, dan perubahan iklim telah menjadikannya semakin rentan terhadap bencana ini. Setiap tahun, ribuan rumah terendam, aktivitas ekonomi lumpuh, dan warga semakin terbiasa hidup dalam genangan air.
Dalam beberapa tahun terakhir, banjir di Pontianak bukan hanya terjadi akibat curah hujan tinggi, tetapi juga karena banjir rob yang semakin sering melanda. Fenomena ini bukan sekadar dampak dari kondisi geografis, tetapi juga akibat dari kesalahan dalam perencanaan kota dan kebijakan tata ruang yang kurang berpihak pada keberlanjutan. Jika tidak ada tindakan konkret, apakah Pontianak akan menjadi kota yang semakin tidak layak huni di masa depan?
Banjir di Pontianak bukanlah fenomena alam semata. Ada faktor struktural yang memperburuk situasi, di antaranya adalah penurunan muka tanah, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, dan sistem drainase yang tidak memadai. Badan Informasi Geospasial (BIG) mencatat bahwa kota ini mengalami penurunan muka tanah sebesar 1-2 cm per tahun. Faktor ini diperburuk dengan eksploitasi air tanah yang masif akibat minimnya sistem penyediaan air bersih yang andal. Tanah yang terus turun ini meningkatkan risiko banjir rob dari Laut Natuna.
Alih fungsi lahan yang tidak terkendali juga berkontribusi besar terhadap permasalahan banjir. Data dari Kementerian PUPR menunjukkan bahwa lebih dari 30% wilayah resapan air di Pontianak telah berubah menjadi kawasan terbangun. Seiring dengan pertumbuhan kota yang pesat, daerah rawa dan kawasan hijau diubah menjadi permukiman, pusat perbelanjaan, dan fasilitas lainnya. Akibatnya, air hujan yang seharusnya terserap ke tanah langsung mengalir ke permukaan, menyebabkan genangan lebih cepat terjadi.
Sistem drainase yang tidak memadai semakin memperburuk situasi. BMKG mencatat adanya tren peningkatan curah hujan ekstrem dalam lima tahun terakhir. Sayangnya, drainase di Pontianak masih berbasis pada pola konvensional yang tidak mampu mengakomodasi volume air yang meningkat. Banyak saluran drainase yang tersumbat oleh sedimentasi dan sampah, memperparah genangan yang terjadi di banyak kawasan perkotaan.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Pontianak. Jakarta dan Semarang juga menghadapi tantangan serupa akibat kombinasi penurunan tanah dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Jakarta saat ini tengah membangun tanggul laut raksasa sebagai bagian dari strategi mitigasi banjir pesisir. Semarang menerapkan sistem pompa air raksasa untuk mengurangi dampak banjir rob di kawasan pesisirnya. Namun, solusi ini membutuhkan investasi besar dan belum tentu bisa diterapkan dalam skala yang sama di Pontianak.
Alternatif lain yang lebih relevan adalah konsep Sponge City yang diterapkan di berbagai kota di Tiongkok. Kota-kota di sana mengembangkan sistem drainase yang mengutamakan infiltrasi alami dengan cara membangun trotoar dan jalan yang menggunakan material permeabel, sehingga air hujan bisa langsung meresap ke tanah. Selain itu, pengembangan kawasan hijau yang berfungsi sebagai taman retensi juga menjadi bagian penting dalam mitigasi banjir. Dengan mengadopsi pendekatan ini, beberapa kota di Tiongkok berhasil mengurangi risiko banjir hingga 30%.
Mengatasi banjir di Pontianak tidak bisa hanya mengandalkan program jangka pendek seperti pengerukan sungai atau pembangunan tanggul darurat. Dibutuhkan kebijakan yang lebih holistik, berbasis data, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Menghentikan alih fungsi lahan di area resapan adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Regulasi tata ruang harus diperketat agar tidak ada lagi izin pembangunan di kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi pemilik lahan yang mempertahankan ruang hijau di kawasan strategis. Selain itu, upaya restorasi terhadap kawasan yang telah terlanjur dikonversi juga perlu dilakukan, misalnya dengan program penghijauan kembali yang terencana.
Modernisasi sistem drainase harus menjadi prioritas. Drainase konvensional harus diperbarui dengan pendekatan berbasis ekologi. Menerapkan sumur resapan, kolam retensi, dan jalur hijau yang menyerap air dapat menjadi solusi jangka panjang. Pemerintah juga bisa menggandeng akademisi dan dunia usaha untuk mengembangkan proyek percontohan drainase hijau di beberapa titik strategis di Pontianak.
Revitalisasi kanal dan sungai menjadi langkah strategis berikutnya. Banyak kanal di Pontianak mengalami pendangkalan dan pencemaran. Kanal-kanal ini seharusnya bisa diintegrasikan ke dalam sistem pengendalian banjir dengan cara pembersihan dan pengerukan kanal secara berkala, bukan hanya ketika banjir sudah terjadi. Membangun jalur hijau di sepanjang bantaran sungai juga dapat membantu memperlancar aliran air dan mencegah sedimentasi lebih lanjut.
Edukasi masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat penting untuk mengurangi penyumbatan drainase yang memperparah banjir. Pemerintah perlu menerapkan regulasi pengelolaan sampah yang lebih ketat, termasuk denda bagi pelanggar. Kampanye edukasi di sekolah dan komunitas lokal juga perlu diperkuat agar kesadaran warga dalam menjaga lingkungan semakin meningkat.
Teknologi juga dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap banjir. Pemerintah bisa mengembangkan sistem peringatan dini berbasis sensor cuaca dan tinggi muka air yang dapat menginformasikan warga secara real-time sebelum banjir terjadi. Pemanfaatan data dan pemodelan prediksi banjir akan membantu pemerintah dalam membuat keputusan berbasis bukti untuk mitigasi jangka panjang.
Banjir di Pontianak bukan sekadar masalah curah hujan atau faktor alam semata, tetapi juga hasil dari tata ruang yang buruk dan sistem drainase yang tidak adaptif terhadap perubahan iklim. Jika tidak ada kebijakan yang lebih tegas, maka risiko banjir akan semakin besar dan membawa dampak ekonomi yang lebih luas. Pemerintah harus mengambil langkah serius untuk mereformasi tata ruang, memperbaiki drainase, dan mengembangkan sistem mitigasi berbasis ekologi. Dengan kebijakan yang lebih progresif dan partisipasi aktif dari masyarakat, Pontianak masih memiliki peluang untuk menjadi kota yang lebih tangguh menghadapi perubahan iklim dan risiko bencana hidrometeorologi.
Pilihan ada di tangan kita: apakah Pontianak akan terus tenggelam, atau mulai bangkit dengan perencanaan yang lebih baik?