KETAPANG – Kasus tragis yang menimpa seorang balita berusia tiga tahun di lingkungan kerja PT Aditya Agroindo, anak perusahaan dari Kalimantan Plantation Unit (KPU), kembali menyorot buruknya tanggung jawab korporasi terhadap keselamatan dan kesejahteraan buruh serta keluarganya.
Balita tersebut diduga meninggal dunia akibat dugaan kelalaian perusahaan dalam menjamin fasilitas kesehatan dan sanitasi, khususnya bagi pekerja yang direkrut dari Pulau Timor.
PT Aditya Agroindo merupakan salah satu dari delapan anak perusahaan yang berada di bawah KPU, yang mayoritas sahamnya (sekitar 95%) dikuasai oleh PLM Investment Limited berbasis di Hong Kong dan dimiliki oleh DTK Opportunity Limited yang terdaftar di British Virgin Islands.
Luas Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan ini mencapai 17.374 hektar.
Masalah Sistemik di Perkebunan Sawit
Dari laporan lapangan, PT Aditya Agroindo terlibat dalam berbagai pelanggaran serius, mulai dari pencemaran lingkungan hingga pelanggaran hak-hak pekerja.
Salah satu insiden yang mencuat adalah pencemaran air Sungai Labai, anak Sungai Kapuas, akibat jebolnya kolam limbah pengolahan CPO.
Peristiwa ini berdampak langsung pada masyarakat adat sekitar yang tak lagi bisa menggunakan air sungai tersebut.
Akibatnya, perusahaan dijatuhi sanksi adat oleh komunitas setempat.
Konflik juga muncul dengan masyarakat adat yang menjadi mitra plasma perusahaan.
Hingga kini, banyak dari mereka belum menerima hasil bagi plasma maupun kejelasan lahan plasma yang dijanjikan dalam perjanjian selama 30 tahun.
Perburuhan yang Buruk, Ancaman PHK, dan Kecelakaan Kerja
Selain masalah lingkungan dan konflik lahan, kondisi buruh di PT Aditya Agroindo sangat memprihatinkan.
Banyak pekerja harian lepas telah bekerja lebih dari lima tahun tanpa kontrak tetap, tidak terdaftar dalam BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan, dan minim akses terhadap perlindungan K3.
Alat Pelindung Diri (APD) terbatas, pemeriksaan kesehatan jarang dilakukan, dan sanitasi di perumahan buruh pun dinilai tidak layak.
Buruh lansia yang telah mengajukan permintaan pensiun tak diindahkan, sementara kasus mutasi sepihak, PHK tanpa pesangon, serta upah di bawah UMK masih terjadi.
Indikasi kuat adanya praktik union busting pun mencuat dari laporan para pengurus serikat buruh kebun sawit di Kalimantan Barat.
“Kami terus menerima laporan dari buruh, bahkan kasus balita meninggal bukan yang pertama. Sayangnya, perusahaan tetap bergeming meski sudah dilakukan upaya bipartit dan tripartit,” ujar Agus Sutomo, Eksekutif Teraju Indonesia.
Pemerintah Dinilai Abai
Minimnya sanksi dari pemerintah baik di tingkat kabupaten hingga nasional membuat pelanggaran terus berlangsung.
Pemerintah dinilai takut kehilangan investasi sehingga enggan menindak perusahaan, meski tindakan mereka jelas-jelas melanggar hukum dan berpotensi sebagai pelanggaran HAM.
“Masyarakat hanya buruh, ketika mengadu justru terancam PHK. Ini cermin ketidakadilan struktural,” tambah Agus.
Seruan untuk Evaluasi dan UU Khusus
Teraju Indonesia dan Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit Kalbar mendesak pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan sawit di Kalimantan Barat.
Perusahaan yang menjalankan praktik baik harus diapresiasi secara terbuka, sementara pelanggar harus ditindak tegas, termasuk diumumkan ke publik dan buyer internasional.
Pemerintah juga diminta segera menerbitkan Undang-Undang khusus perlindungan buruh sawit, termasuk Perda di tingkat daerah.
Tim monitoring dan audit harus melibatkan pihak independen agar hasilnya objektif.
“Jika tidak ada perubahan, bagaimana mungkin tujuan pembangunan berkelanjutan bisa tercapai? Kasus PT Aditya Agroindo menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah,” tegas Agus.