PONTIANAK – Ali Suhardi (47), warga Desa Mak Tanggok, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, harus menempuh perjuangan panjang demi mendapatkan layanan kesehatan, meski telah menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Pria dengan riwayat saraf terjepit ini mengaku diperlakukan seperti “bola pingpong” oleh Rumah Sakit Kartika Husada di Kabupaten Kubu Raya.
Alih-alih memperoleh penanganan medis, ia justru bolak-balik dari Sambas ke Pontianak tanpa kejelasan pengobatan.
Perjalanan Ali dimulai saat dirinya dirujuk dari RSUD Pemangkat ke RSUD Abdul Aziz Singkawang, kemudian kembali dirujuk ke Rumah Sakit Kartika Husada.
Dengan membawa surat rujukan resmi, ia tiba di rumah sakit tersebut pada Rabu, 14 Mei 2025.
Namun, harapannya sirna ketika pihak rumah sakit menyatakan antrean penuh dan memintanya kembali pada Senin, 19 Mei 2025.
“Kami terpaksa pulang dulu karena harus menunggu seminggu. Perjalanan dari Sambas ke Pontianak tidak dekat, apalagi saya membawa istri dan anak,” ujar Alang, sapaan akrabnya, saat dihubungi wartawan pada Kamis (22/5/2025).
Pada tanggal yang telah dijanjikan, Alang dan keluarganya kembali melakukan perjalanan tujuh jam menuju Pontianak dengan harapan bisa segera mendapat penanganan medis. Namun, kekecewaan kembali dirasakannya.
Pihak Rumah Sakit Kartika Husada justru memintanya kembali ke RSUD Abdul Aziz Singkawang untuk mendapatkan surat rujukan tambahan, khusus untuk tindakan bius.
Alang menjelaskan bahwa ia dijadwalkan menjalani pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) yang mengharuskannya berbaring terlentang selama 45 menit.
Namun, kondisi saraf terjepit yang dideritanya membuat ia hanya mampu bertahan selama lima menit.
“Sudah tiga kali dicoba, saya tidak sanggup. Saya minta tindakan bius agar bisa menjalani MRI, tapi dokter di sini malah menyuruh saya kembali ke Singkawang untuk mengurus rujukan bius. Ini sangat menyulitkan,” keluhnya.
Menurut Alang, ia telah menghubungi RSUD Abdul Aziz Singkawang, namun pihak rumah sakit tersebut menyatakan tidak dapat mengeluarkan rujukan tambahan.
Bahkan, ia disarankan untuk berpindah ke Rumah Sakit Antonius dan menjalani tindakan MRI secara umum, di luar layanan BPJS Kesehatan.
Sang istri, Ita Rosita (43), mempertanyakan mengapa proses rujukan tidak dapat diselesaikan secara internal antar-rumah sakit, mengingat mereka telah membawa seluruh dokumen yang diperlukan.
“Kalau memang membutuhkan surat tambahan, mengapa tidak diinformasikan sejak awal? Kami sudah mengeluarkan biaya besar untuk transportasi dan kehilangan waktu,” ujarnya.
Ia berharap BPJS Kesehatan serta pihak rumah sakit dapat mengevaluasi sistem rujukan yang ada agar tidak memberatkan pasien, terlebih yang berasal dari daerah terpencil.
“Kami hanya menginginkan pelayanan yang jelas dan tidak berbelit-belit,” tambah Ita.
Hingga berita ini diturunkan, redaksi masih berupaya mengonfirmasi pihak Rumah Sakit Kartika Husada dan RSUD Abdul Aziz Singkawang untuk mendapatkan tanggapan resmi.
Sementara itu, masyarakat berharap BPJS Kesehatan segera mengambil langkah konkret agar kasus serupa tidak kembali terjadi di masa mendatang.