banner 468x60
INFO PEMPROV KALBAR

Saat Gubernur Kalbar Berdialog dengan Mahasiswa Pendemo, Bahas 100 Hari Kerja

×

Saat Gubernur Kalbar Berdialog dengan Mahasiswa Pendemo, Bahas 100 Hari Kerja

Sebarkan artikel ini

PONTIANAK – Di halaman Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Senin siang, 2 Juni 2025, tak ada podium, tak ada pengeras suara.

Hanya tikar digelar, dan suara mahasiswa yang pelan tapi tegas. Mereka datang bukan membawa tuntutan beringas, melainkan catatan tentang janji dan harapan: program 100 hari kerja Gubernur Ria Norsan.

Belasan mahasiswa dari Solidaritas Mahasiswa dan Pengemban Amanat Rakyat (Solmadapar) memilih berdialog langsung.

Duduk bersila berhadapan dengan sang gubernur, mereka mempertanyakan satu hal mendasar: ke mana arah pemerintahan ini dibawa?

“Kami ingin melihat seberapa jauh progres 100 hari kerja ini berjalan. Karena dari sinilah, arah lima tahun ke depan akan terlihat,” ujar Koordinator Aksi, Shultan Daulad.

Bukan sekadar menagih laporan, mahasiswa juga menyoroti prinsip tata kelola.

Mereka menuntut transparansi, partisipasi publik, dan keberpihakan pada rakyat dalam setiap kebijakan.

“Kami ingin Kalbar berjalan di atas prinsip demokrasi yang sehat. Pemerintahan harus terbuka, melibatkan rakyat, bukan berjalan di ruang tertutup,” kata Shultan.

Ria Norsan menerima kedatangan mereka tanpa jarak. Ia duduk di atas tikar, menjawab pertanyaan, mendengar kritik.

Ia menyebut kehadiran mahasiswa sebagai alarm—pengingat yang justru dibutuhkan oleh para pemegang kuasa.

“Kami butuh ini. Suara mahasiswa adalah pengingat, agar kami tak melenceng dari tujuan membawa Kalbar ke arah lebih baik,” ujarnya.

Namun Norsan juga menegaskan: program 100 hari kerja bukan akhir. Ini hanya permulaan dari maraton panjang selama lima tahun masa jabatannya.

“Saya bangga. Mahasiswa masih mau bicara, masih mau peduli. Ini yang membuat demokrasi tetap hidup,” katanya.

Hari itu, tak ada orasi lantang atau aksi teatrikal. Tapi lewat tikar dan kata-kata, mahasiswa mengingatkan bahwa kekuasaan harus selalu diawasi.

Dan Kalimantan Barat, kata mereka, tak boleh hanya tumbuh di laporan, tapi harus hidup dalam kenyataan.