AKSARALOKA.COM, KUBU RAYA – 5th IPOSC (Indonesian Palm Oil Smallholder Conference and Expo) resmi dibuka di Hotel Q Qubu Resort, Kubu Raya, Kalimantan Barat, dan dibuka pada 24 September 2025.
Acara ini diikuti sekitar 250 peserta dari seluruh Indonesia.
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat, Heronimus Hero mengatakan subsektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, berperan strategis dalam perekonomian nasional dan daerah.
“Di Kalimantan Barat, sawit menyumbang besar pada PDRB, menyerap kurang lebih 150 ribu tenaga kerja, dan menjadi sumber penghidupan lebih dari 1 juta masyarakat,” ujarnya.
Saat ini kata Heru, ada 368 perusahaan sawit dengan konsesi sekitar 3 juta hektare, namun baru 1,7 juta hektare yang tertanam. Pemerintah provinsi mendorong optimalisasi lahan yang sudah berizin, bukan membuka izin baru.
Ia mengatakan saat ini kontribusi sawit terhadap perekonomian Kalbar mencapai 32 persen. “Dimana 20 persen pertanian dan 12 persen industri pengolahan. Secara nasional, luas sawit sekitar 17 juta hektare, 41 persen di antaranya kebun rakyat,” ujarnya.
Isu global seperti regulasi Uni Eropa dan penertiban kawasan hutan menjadi tantangan, namun pemerintah terus mengupayakan solusi agar masyarakat tetap bisa beraktivitas.
Selain itu, program replanting, sarana prasarana, dan pengembangan SDM melalui BPDPKS telah terealisasi besar di Kalbar, termasuk replanting kurang lebih 24 ribu hektare dengan nilai bantuan sekitar Rp600 miliar, serta beasiswa pendidikan untuk 150 mahasiswa asal Kalbar.
Melalui konferensi dan expo ini, diharapkan lahir kebijakan yang mendorong pembangunan sawit berkelanjutan serta memperkuat kerja sama antara pemerintah, asosiasi, perusahaan, dan masyarakat.
Ketua Panitia, Mansuetus Darto, menegaskan bahwa sejak Presiden Soekarno menetapkan Hari Tani melalui Keppres Tahun 1963, nasib petani hingga kini masih belum jelas.
Ia menjelaskan, penetapan Hari Tani memiliki empat poin penting. Pertama, pembubaran hukum kolonial terkait agraria. Kedua, menegaskan bahwa tanah adalah milik rakyat dan menjadi sumber kehidupan utama.
Ketiga, land reform untuk memperkuat hak rakyat atas tanah. Keempat, penegasan Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Namun, Darto menilai kenyataannya saat ini justru sebaliknya. Banyak lahan petani, termasuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan, disita tanpa dialog yang adil.
Menurutnya, nasionalisasi berbasis BUMN justru menjadi strategi struktural yang memiskinkan petani. “Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah membangun dialog dengan petani sawit. Penyelesaian masalah lahan di kawasan hutan harus dilakukan secara adil, transparan, dan tidak merugikan masyarakat,” tegasnya.
Ia berharap forum ini dapat menjadi wadah diskusi isu keberlanjutan sekaligus memperjuangkan keadilan bagi petani. “Semoga acara dua hari ke depan berjalan sukses, dan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi,” tutupnya.
Event terbesar bagi petani sawit di Indonesia ini diselenggarakan oleh POPSI (Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia) bekerja sama dengan Media Perkebunan. Acara ini penting bukan hanya karena dihadiri oleh petani kelapa sawit, tetapi juga oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Ketua Panitia IPOSC sekaligus Sekjen POPSI, Hendra J Purba mengatakan saat ini, luas lahan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki petani mencapai 42% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Petani kelapa sawit merupakan game changer bagi industri kelapa sawit Indonesia. Permasalahan utama petani, yaitu produktivitas yang rendah, bisa diatasi, maka daya saing sawit Indonesia dapat terjaga, bahkan meningkat baik terhadap produsen sawit lainnya maupun terhadap minyak nabati lain.
Sebaliknya, bila tidak diatasi, nasib sawit bisa sama dengan komoditas perkebunan unggulan lain seperti gula dari eksportir terbesar menjadi importir terbesar atau kakao yang dari produsen nomor tiga dunia kini merosot ke peringkat tujuh.