banner 468x60
Info Pertamina

Inovasi Gas LPG di Kalbar: Penyambung Mimpi Anak-anak Pulau Nyamuk

×

Inovasi Gas LPG di Kalbar: Penyambung Mimpi Anak-anak Pulau Nyamuk

Sebarkan artikel ini
Sejumlah pelajar menaiki sampan berbahan bakar gas di Kubu Raya, Kalimantan Barat.

KUBU RAYA – Berkat gas LPG, siswa dan guru di Sekolah Dasar (SD) Negeri 44 Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar), bisa berangkat ke sekolah. Mereka tak lagi bimbang, harus menerobos hutan rawa, atau mendayung sampan demi pendidikan.

Sampan menjadi satu-satunya transportasi paling memungkinkan bagi para siswa yang tinggal di Pulau Nyamuk. Tinggal di kawasan kepulauan di Kubu Raya, membuat sungai jadi jembatan yang menghubungkan mereka.

Jika harus mendayung, para siswa bakal sampai tak tepat waktu. Bila mengandalkan sampan dengan diesel, solar sulit didapat. Untungnya, ada gas LPG yang menopang mereka tiba di sekolah.

Lewat sebuah inovasi hijau konverter kit Amin Ben Gas (ABG), tidak hanya siswa, para guru pun bisa diangkut semua. Sampan itu disulap menjadi “bus sekolah” yang lebih ramah lingkungan dan berbiaya murah.

Konverter kit ini merupakan terobosan Amin, putra daerah Kalbar. Sebuah komponen yang dapat mengubah Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG).

Semangat Anak Bangsa Menempuh Pendidikan di Wilayah Terpencil

Salah satu siswa dari SDN 44 Sungai Kakap, Naila merasa lebih semangat untuk pergi ke sekolah karena diantar jemput oleh bapak dan ibu guru. Ia selalu tak sabar, menikmati perjalanan dan tiba di kelas.

“Kalau pergi ramai-ramai jadi semangat,” kata Naila, Sabtu (11/10/2025).

Para siswa jadi merasa tak sendirian. Siswa lain, Sultan, juga menaruh rasa terima kasih karena berkat Bapak dan Ibu guru di sekolahnya, dia tak perlu jalan kaki berjam-jam demi pendidikan.

“Sampan sekolah ini cukup besar. Perjalanan ke sekolah lebih aman ketika ada gelombang di sampan tersedia jaket pelampung,” ucap Sultan.

Para siswa rerata tinggal di Blok C dan G, di Pulau Nyamuk, satu pulau dengan lokasi sekolah. Jika pergi ke sekolah melalui jalur darat, mereka harus menempuh perjalanan 2 kilometer atau sekitar kurang lebih 1 jam dengan menyusuri hutan, dan semak-semak belukar. Belum lagi ancaman buaya muara.

Tapi semenjak ada sampan berbahan bakar LPG, para siswa hanya perlu stand by setiap pagi untuk dijemput. Orang tua mereka merasa lebih tenang karena mereka dikawal oleh para guru menggunakan motor sampan.

“Kami berterima kasih sekali kepada para guru di SDN 44 Sungai Kakap karena kami jadi tidak bimbang ketika anak kami pergi ke sekolah, mereka jadi lebih aman dan cepat untuk sampai di sekolah,” ucap Samsudin, salah satu orang tua siswa di SDN 44 Sungai Kakap.

Sejumlah pelajar menaiki sampan berbahan bakar gas di Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Banyak Siswa Pindah dan Berhenti Karena Keterbatasan Akses

Kepala Sekolah SDN 44 Sungai Kakap, Ismail bercerita, saat ini jumlah siswa yang ada di SDN 44 Sungai Kakap berjumlah 6 orang. Awalnya sempat ramai, namun karena keterbatasan akses membuat mereka pindah bahkan berhenti sekolah.

“Dulu adalah puluhan siswa, sekarang ada 6. Karena aksesnya sulit kalau mereka gak punya sampan, jadi mereka memilih pindah atau berhenti. Guru di sana juga cuman 2 orang, sisanya dari daerah luar pulau jadi harus nyeberang, seperti kami ini,” tutur Ismail.

Untuk kedepannya, kata Ismail, siswa di sekolah itu diprediksi tak akan bertambah banyak. Penyebabnya karena letak pulau yang tak terkoneksi dengan daerah sekitar. Namun bukan berarti, layanan dasar warga negara itu akan dihentikan.

“Ada warga yang memutuskan pindah dari pulau karena daerah ini tidak ada listrik, internet, akses transportasi sulit,” ucap Ismail.

SD Negeri 44 Sungai Kakap dibangun saat daerah tersebut jadi daerah relokasi kerusuhan Sambas di tahun 1999-2000.

“Aktivitas di sana ada pertanian, petani banyak menanam sayur, buah, cabai, semangka, dan lainnya,” ungkap Ismail.

Perjuangan Guru Jemput Siswa Sekolah Pakai Sampan

Ombak, hujan, badai sudah tak asing bagi para guru di SDN 44 Sungai Kakap setiap paginya. Berjibaku menerjang cuaca buruk pun sudah pernah mereka lewati untuk bisa mengajar ke sekolah.

Ismail, bersama guru lain harus melawan arus setiap pagi untuk sampai di sekolah. Pagi-pagi pukul 06.00 WIB, para guru sudah berkumpul di Dermaga Sungai Kakap. Tak boleh terlambat. Untuk sampai ke sekolah memakan waktu hingga 1 jam, jika tak ada kendala di jalan.

“Kalau guru yang tinggal di Rasau, dia harus turun sebelum subuh. Mampir ke masjid untuk salat subuh dan bisa tepat waktu sampai di Dermaga Sungai Kakap ini,” kata Ismail.

Penampakan seekor buaya di Pulau Nyamuk, Kubu Raya, Kalbar, yang dipotret seorang guru.

Ancaman Buaya, Hingga Cuaca Ekstrem

Sejak tahun 2010, Ismail sudah menjadi tenaga pengajar di SDN 44 Sungai Kakap. Saat itu, belum banyak guru yang mengajar di sana. Sebelumnya, ia hanya memiliki sampan dengan Bahan Bakar Minyak (BBM), dengan kapasitas 4 hingga 5 orang saja.

“Awalnya pakai sampan pribadi. Kebetulan gurunya saat itu belum banyak. Jadi sampan saya masih cukup untuk mengangkut mereka ke sekolah,” tutur Ismail.

Sudah 15 tahun Ismail menikmati profesinya walaupun harus menantang medan berisiko. Tak jarang, dia dan beberapa guru lainnya bertemu buaya melintas di area dekat sampan mereka.

“Alhamdulillah sering lihat buaya lewat dekat sampan, pernah juga ada guru yang diterkam buaya itu saat ambil air wudhu di Tanjung Saleh,” ucap Ismail.

Bukan cuman ancaman buaya, cuaca ekstrem juga menjadi tantangan mereka. Ismail bahkan rela untuk terjun ke laut jika gelombang dan air laut masuk ke sampan mereka.

“Hujan badai udah medan sehari-hari kami, kami hampir tenggelam. Ibu Sri sampai nangis, trauma. Ibu Endang yang hamil, hampir tenggelam. Kami berhenti dulu di tepi Nipah untuk menguras air karena gelombang,” ungkapnya.

Peristiwa itu menancap di ingatannya. Saat itu cuaca normal, namun di tengah jalan tiba-tiba badai. Sampan mereka beberapa kali dihentak gelombang besar hingga air laut masuk.

“Saya sampai buka jaket dan sepatu, kalau satu kali lagi (terhentak) saya terjun. Itu air sudah masuk ke lantai,” kata Ismail sambil mengingat-ingat peristiwa itu.

Guru-guru tersebut bahkan hafal dengan prediksi cuaca ekstrem. Ismail bilang, itu sering terjadi pada bulan Oktober hingga Februari.

“Musim Utara itu angin dari pagi sampai malam satu bulan luar biasa ekstremnya,” kata dia.

Berkat gas LPG, siswa dan guru di Sekolah Dasar (SD) Negeri 44 Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar) bisa berangkat ke sekolah. Mereka tak lagi bimbang, harus menerobos hutan rawa, atau mendayung sampan demi pendidikan.

Dapat Bantuan Sampan, Konverter Kit ABG, dan 2 Tabung Bright Gas

Tahun 2023, mereka mendapat bantuan berupa satu unit sampan, mesin konverter kit Amin Ben Gas (ABG), dan 2 tabung Bright Gas dari Dinas Perhubungan Kabupaten Kubu Raya sebagai penunjang akses transportasi guru-guru dan siswa.

“Dishub ini survei dulu ke kami, mereka lihat apakah kami perlu dibantu. Mereka lihat sampan kecil kami yang cuman bisa mengangkut 4-5 orang,” jelas Ismail.

Dulu, Ismail masih menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) berupa bensin, namun sejak diberi bantuan, mereka menggunakan LPG bright gas yang lebih hemat dan efisien.

“Jadi bisa pakai 2 alternatif, sekarang sih pakai LPG. Kalau gas LPG habis kita memang sudah siapkan bensin, jadi gak khawatir,” sebut Ismail.

Mereka sangat terbantu dengan bantuan yang diberikan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kubu Raya. Bantuan berupa angkutan ini sangat bermanfaat untuk mengangkut guru dan siswa. Sejak adanya bantuan sampan tersebut, jumlahnya bertambah.

“Dulu cuma muat 4-5 orang pakai sampan kecil, sekarang bisa mengangkut 10-11 orang lah. Guru-guru termasuk siswa, siswa kadang ada 5-6 orang yang kita jemput,” ucapnya.

Pakai LPG Lebih Hemat 50%

Tahun pertama mendapat bantuan, mereka menggunakan bright gas untuk mengganti BBM. Selain ramah lingkungan, penggunaan gas LPG tentu lebih efisien.

Di tengah jalan, kendala datang. Para guru tak cukup mampu untuk membeli bright gas. Tak ada uang transportasi guru dan siswa untuk pergi ke sekolah. Mereka patungan untuk menutupi biaya.

“Waktu pemberian bantuan itu kita diberikan 2 tabung bright gas, tapi gak sanggup kalau mau isi ulangnya,” lirih Ismail.

Dengan berat hati, dan agar tetap dapat mengajar siswa di sekolah, akhirnya mereka mengganti gas LPG 3 kilogram dengan uang yang terkumpul seadanya.

Jika dibandingkan dulu, saat menggunakan bensin, para guru menghabiskan 8 liter atau sekitar Rp100 ribu untuk pulang pergi ke sekolah dalam sehari. Sedangkan, saat beralih ke gas LPG mereka hanya membutuhkan 2 tabung gas LPG 3 kilogram untuk pulang pergi dalam sehari.

“Kalau gas biasa kita dapat satu tabung Rp25 ribu, jadi sehari bisa Rp50 ribu. Sedangkan kalau pakai bensin Rp100 ribu itu dapat 8 liter untuk pulang pergi. Bisa hemat 50% sejak pakai gas LPG dan konverter gas ini,” tutur Ismail.

Konverter kit ABG ini merupakan rangkaian komponen yang dapat mengubah mesin dari Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi Bahan Bakar Gas (BBG). Diciptakan oleh Amin Ben Gas, dan kini dimanfaatkan orang ramai.

Guru-Guru Sisihkan Uang Gaji Rp100 Ribu Setiap Bulan Untuk Beli Gas

Tak ada bantuan dana bos yang mengalokasikan untuk transportasi jalur air ke SD Negeri 44 Sungai Kakap, atau sekolah pedalaman lainnya. Ismail bersama guru lainnya urunan setiap bulan untuk membeli gas LPG agar tetap bisa mengajar, dan menjemput siswa untuk sampai ke sekolah.

“Jadi kami urunan sebulan itu Rp100 ribu, untuk beli gas. Kan sehari 2 tabung, kalau ada sisa untuk jaga-jaga misal ada perbaikan sampan,” kata Ismail.

Dalam sehari, mereka membutuhkan 2 tabung gas LPG 3 kg. Dalam satu bulan, mereka membutuhkan sebanyak 54 tabung gas. Satu tabung gas mereka beli seharga Rp25 ribu. Sehingga tiap satu bulan, mereka harus mengeluarkan uang Rp1,3 juta untuk biaya trasportasi dan mengangkut para siswa untuk bisa sampai ke sekolah.

“Tapi ini kami gratiskan untuk siswa. Kami ikhlas menjemput mereka dan mengantar sampai ke sekolah karena minat belajar mereka juga tinggi,” ucap Ismail dengan semangat.

Besar harapan mereka untuk mendapat perhatian dari pemerintah. Walaupun diterjang badai, ancaman buaya, hingga merogoh kantong pribadi untuk sampai ke sekolah, bukanlah suatu halangan. Mereka yakin dengan tekad dan niat yang mulia mereka dapat menciptakan generasi penerus bangsa.

“Kami pun banyak terima kasih kepada Dishub karena kendaraan ini sangat membantu, bantuan ini kalau bisa jangan sampai di sini saja, mungkin daerah-daerah lain seperti kami daerah pesisir, pasti banyak juga membutuhkan seperti kami,” tutupnya.

Sejumlah guru di Pulau Nyamuk, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, foto bersama.

Sumbangsih Pertamina untuk Pendidikan Pulau Terpencil

PT Pertamina Patra Niaga mengungkapkan komitmennya dalam ketersediaan penyaluran LPG di wilayah Kalimantan Barat (Kalbar). Kuota gas LPG juga telah disalurkan sesuai dengan permintaan dari pemerintah setempat.

SBM Kalbar V Gas PT Patra Niaga Kalimantan, Muhammad Fadlan Ariska menerangkan, pihaknya melakukan pendistribusian LPG di wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Diketahui, terdapat 20 pangkalan LPG 3 kilogram di Kecamatan Sungai Kakap, 5 pangkalan di Kecamatan Jeruju Besar, 2 pangkalan di Kecamatan Kalimas, 27 pangkalan di Kecamatan Pal Sembilan, 2 pangkalan di Punggur Kapuas, 3 pangkalan di Punggur Besar, 7 pangkalan di Punggur Kecil, 2 pangkalan di Sepuk Laut, 3 pangkalan di Sungai Belidak, 3 pangkalan di Sungai Itik, 4 pangkalan di Sungai Kupah, 21 pangkalan di Sungai Rengas, dan 3 pangkalan di Tanjung Saleh.

Sedangkan, 3 pangkalan LPG 3 kilogram di Desa Tanjung Saleh yakni pangkalan Hafizah di Kampung Tengah, pangkalan Hasan di Dusun Kampung Tengah Rt 013/Rw 003 Desa Tanjung Saleh, dan pangkalan Sulaiman di Dusun Kampung Tengah Rt 014/003 Desa Tanjung Saleh.

Hal ini membantu ketercukupan pasokan, yang secara tak langsung juga kelangsungan pendidikan anak-anak di wilayah kepulauan.

Amin Ben Gas, Sosok di Balik Konverter Kit ABG

Satu waktu, seorang nelayan mengadu ke Amin Ben Gas, sosok pencipta Konverter Kit ABG, bahwa ada guru yang membutuhkan konverter kit untuk memangkas biaya transportasi ke sekolah.

“Saya lihat itu ternyata mereka wajib dibantu karena ini menyangkut pendidikan. Akhirnya saya upayakan lewat Pemerintah Kabupaten agar mereka mendapat bantuan,” kata Amin Ben Gas, Minggu (12/10/2025).

Menurut Amin, sekolah di daerah Tanjung Saleh tersebut adalah daerah 3T karena terputus dari jalur darat, tak ada listrik, hingga akses internet.

“Mahalnya biaya operasional karena mereka sebelumnya menggunakan bahan bakar minyak. Saling urunan, untuk beli minyak. Belum lagi bicara untuk kerusakan mesin. Ini pakai kantong pribadi mereka semua,” tutur Amin.

Usai sukses digunakan oleh nelayan di seluruh penjuru Indonesia, konverter kit ABG kini hadir sebagai sarana penunjang transportasi guru-guru dan siswa di SD Negeri 44 Sungai Kakap. Mereka resmi beralih dari BBM ke BBG saat Pemkab Kubu Raya melalui Dishub memberikan bantuan berupa 1 unit sampan lengkap dengan konverter kit dan tabung gas.

“Akhirnya operasional mereka bisa ditekan, lebih hemat saya senang sekali bahwa apa yang saya perjuangkan bisa bermanfaat,” kata Amin dengan bangga.

Konverter Kit ABG ini, kata Amin, tak bicara soal nelayan dan petani saja, namun saat ini ternyata bisa dimanfaatkan sebagai transportasi untuk guru dan siswa berangkat sekolah.

“Mudah-mudahan jadi atensi Pemkab dan Pemprov. Jadi kalau kita bicara generasi muda kita ini harus kita perjuangkan. Mereka tidak tercover dana bos, tapi mereka punya semangat untuk memajukan anak bangsa di daerah 3T,” kata Amin.

Amin tak ingin anak-anak di Tanjung Saleh berhenti sekolah karena guru-guru tak bisa datang mengajar hanya karena keterbatasan akses transportasi.

“Kita harus hadir mendorong membantu mereka, saya bantu lewat teknologi yang saya punya, yang saya bisa. Sekarang giliran pemerintah daerah, pemerintah harus hadir,” tegas Amin.

Walaupun sampai saat ini belum ada regulasi gas subsidi 3 kg untuk transportasi guru dan anak sekolah di daerah tertinggal, Amin berharap, pemerintah daerah dapat memperjuangkannya.

“Pemerintah harus hadir untuk memajukan dunia pendidikan, memajukan sumber daya generasi kita kedepan. Belum ada regulasi? Adakan, mulai dari daerah dulu. Kita bikin ada anggaplah ini sebagai pilot project, itu harus kita dorong,” ujarnya.

Penemu Konverter Kit ABG, Amin Suwarno

Konverter Kit ABG Tercipta Saat BBM Langka

Penemu Konverter Kit ABG, Amin Suwarno atau yang lebih akrab dikenal Amin Ben Gas mengaku keresahannya timbul di tahun 2010, saat kelangkaan BBM terjadi. Amin berusaha untuk mencari alternatif lain sebagai pengganti BBM yang lebih ramah lingkungan.

“Yang saya lihat dan paling mendekati adalah gas. LPG umum dipakai di rumah tangga, ini bisa diaplikasikan sebagai bahan operasional di nelayan, awalnya memang tertuju untuk nelayan dan petani,” kata Amin.

Di tahun 2010, Amin berjibaku membuat konverter kit ABG dengan berbagai komponen dan skill yang dia miliki. Tekadnya kuat, ingin membantu masyarakat kecil, membantu menekan pengeluaran mereka.

“Jadi kita coba cari solusi masalah yang ada di lapangan. Kita bicara nelayan, petani tidak jauh dari pada penghidupan perekonomian mereka kalau tidak di laut ya di darat. Kita bicara itu tidak jauh dari operasional mereka menggunakan apa, tentulah mesin dan bahan bakar,” papar Amin.

Amin coba membuat alternatif alat yang bisa mensuplai Bahan Bakar Gas (BBG) ke mesin sebagai bahan bakarnya. Hingga timbullah kata konverter kit, berasal dari kata konversi, upaya mengkonversi minyak ke gas elpiji.

“Ketika kita sudah dikonversi apakah hanya bisa pakai gas? Tidak, kita bisa pakai minyak lagi, kalau seandainya ada kelangkaan gas. Jadi prinsip kita menyelesaikan masalah tanpa masalah. Tagline kita sudah kita bawa konverter kit ABG ini menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru,” tuturnya.

Konverter Kit ABG dibuat Amin dengan kelipatan generasi. Namun konverter kit ABG yang tersebar di Indonesia saat ini adalah generasi ke 9. Tak mudah bagi Amin melalui seluruh generasi hingga akhirnya konverter tersebut bisa dimanfaatkan dan tersebar ke seluruh penjuru Indonesia.

Percobaan konverter kit ABG ini dia tujukan kepada sejumlah nelayan di Sungai Kupah, Kampung Nelayan. Amin sempat mendapat penolakan dari para nelayan di sana. Mereka khawatir soal konverter kit yang dibuat oleh Amin tak berfungsi maksimal.

“Sempat mendapat penolakan, mereka takut meledak atau takut penggunaannya ribet, tapi saya selalu uji coba di lapangan tiap generasi hingga akhirnya bisa diterima dan maksimal digunakan pada tahun 2015. Itu perjuangan luar biasa,” kata Amin haru.

Wagub Krisantus Sambut Inovasi Hijau dari Putra Kalbar

Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan menyambut baik adanya konverter kit ABG. Menurutnya, penemuan ini dapat menekan biaya operasional hingga 50 persen dan lebih ramah lingkungan.

Krisantus juga pernah menjajal langsung speedboat berbahan bakar gas di Sungai Kapuas usai meresmikan peluncuran inovasi Konverter Kit Mesin Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) generasi terbaru.

“Ini adalah hasil inovasi kreativitas Putra Kalimantan Barat yang tentu kita harapkan bisa menasional bahkan mendunia. Selain itu, tentu ini sangat membantu para nelayan, petani, profesi apapun. Saya sudah coba sendiri, rasanya tidak ada bedanya dengan bensin. Tapi jauh lebih ekonomis dan ramah lingkungan,” ungkap Krisantus.

Ramah Lingkungan dan Mengurangi Emisi dari Sektor Transportasi

Dari data Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020 merilis bahwa Indonesia rentan terhadap perubahan iklim. Dari tahun 2010-2018, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional mengalami tren kenaikan sekitar 4,3 persen per tahun.

“Ini juga jadi latar belakang kita, bagaimana menciptakan teknologi konversi energi yang ramah lingkungan. Bagaimana mendukung kebijakan Indonesia untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi? Di sini konverter kit ABG hadir,” kata Amin.

Konverter Kit ABG hadir di tengah pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kubu Raya mengalami penurunan, di tahun 2020.

“Para nelayan memiliki pendapatan yang terbatas, menerapkan konverter kit BBM ke BBG pada motor kapal untuk mengurangi pengeluaran para nelayan, serta menurunkan jumlah emisi karbon adalah salah satu bentuk mitigasi perubahan iklim,” tutup Amin.

Pengamat Sosial Universitas Tanjungpura, Viza Julian

Regulasinya Perlu Diperjuangkan Karena Menyangkut Dunia Pendidikan

Pengamat Sosial Universitas Tanjungpura, Viza Julian memandang peristiwa ini dalam kaca mata kebijakan publik. Menurutnya, inovasi hijau ini layak dibantu terlebih menyangkut dunia pendidikan di Kalbar. Walaupun memang saat ini regulasi terkait LPG subsidi belum ada ditujukan untuk sarana transportasi anak sekolah di wilayah tertinggal.

“Saat kita memberikan subsidi dalam bentuk apapaun termasuk gas atau BBM itu targetnya apa? Targetnya kan sebenarnya memudahkan agar masyarakat umum kelas menengah ke bawah bisa memiliki bantuan,” ucap Viza.

Namun jika dilihat dari kaca mata administratif tentu timbul suatu permasalahan. Gas LPG 3 kilogram ditujukan kepada pengguna rumah tangga, usaha mikro, petani sasaran, dan nelayan sasaran.

“Kenapa kebijakan ini dibuat? Awalnya kan targetnya memudahkan masyarakat miskin. Miskin ini bisa berbagai konteks termasuk yang tinggal di daerah 3T itu, harusnya kita mengembalikan prinsip itu. Karena targetnya membantu, dan mereka sasarannya,” kata Viza.

Sedangkan, kelompok yang tak boleh menggunakan LPG 3 kg antara lain, restoran, hotel, usaha binatu, usaha batik, usaha peternakan, usaha pertanian, usaha tani tembakau, dan usaha jasa las.

“Secara esensi memang tak ada yang dilanggar, toh mereka menggunakan itu untuk kebutuhan transportasi ke sekolah di daerah terpencil dan tertinggal. Bukan tak ada regulasinya, tapi mungkin belum ditetapkan,” tutur Viza.

Namun kata Viza, jika logika berpikir dipersingkat, ketika mereka sedang menggunakan subsidi dalam bentuk LPG, bukankah mereka tak sedang menggunakan subsidi dalam bentuk BBM.

“Dasar hukum dibuat itu untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat keseluruhan, jika hukum itu terlambat di belakang perkembangan masyarakat, kita perlu nilai lagi apakah esensi hukum itu masih terjalankan atau tidak. Lain ceritanya kalau ada manipulasi secara signifikan, atau padahal bukan dia sasarannya,” tegas Viza.

Pada prinsipnya tak ada masalah dalam peristiwa ini, namun kata Viza jangan dibiarkan terus menterus. Aturan hukum, atau regulasinya bisa segera untuk dibuat kepada mereka yang memang benar membutuhkan.

“Kenyataan mereka tinggal di daerah terpencil. Memang benar tidak diatur secara hukum. Tapi jangan dibiarkan terus menerus. Mungkin aturan hukumnya yang perlu kita luruskan. Jangan kita bunuh lah inovasi itu kalau bisa untuk berhemat. Secata hukum itu belum diatur, tapi secara esensi gak ada yang dirugikan dan mereka bisa menghemat penggunaan subsidi BBG untuk ke sekolah,” tutupnya. (*)