banner 468x60
INFO PEMPROV KALBAR

Gubernur Kalbar Soroti Ketimpangan Fiskal, Desak Reformasi Skema Dana Bagi Hasil SDA

×

Gubernur Kalbar Soroti Ketimpangan Fiskal, Desak Reformasi Skema Dana Bagi Hasil SDA

Sebarkan artikel ini

BALIKPAPAN — Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan menyoroti ketimpangan fiskal yang dialami daerah penghasil sumber daya alam (SDA), terutama terkait mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.

Ia menilai kontribusi daerah terhadap penerimaan negara tidak sebanding dengan alokasi fiskal yang kembali ke daerah.

Pernyataan itu disampaikan Norsan dalam Rapat Koordinasi Gubernur se-Kalimantan bertema Sinergi Daerah Penghasil SDA untuk Menggali Potensi DBH Sektor Pertambangan, Kehutanan, dan Perkebunan Guna Penguatan Fiskal Daerah di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (9/7/2025).

“Selama ini daerah hanya mendapat remah-remah dari kekayaan alam yang diangkut ke luar. Sementara beban lingkungan dan sosial ditanggung daerah,” ujar Norsan.

Ia menggarisbawahi pentingnya regulasi baru yang memberi ruang fiskal lebih luas bagi daerah.

Norsan menyoroti dampak penghapusan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Iuran Tetap untuk mineral bukan logam dan batuan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2025. Kebijakan itu dinilai memukul pendapatan daerah dari sektor pertambangan.

“Optimalisasi DBH, terutama dari royalti Iuran Produksi, harus menjadi prioritas. Kita juga perlu skema baru agar daerah bisa ikut mengawasi dan menikmati hasilnya secara adil,” tegasnya.

Potensi Besar, Realisasi Minim

Kalimantan Barat mencatat fluktuasi tajam dalam realisasi DBH sektor tambang.

Dari Rp97,2 miliar pada 2020, turun drastis menjadi Rp32,8 miliar pada triwulan pertama 2025. Di sektor kehutanan, PNBP tertinggi dicatat pada 2022 sebesar Rp108,3 miliar.

Namun nilai Transfer ke Daerah (TKDD) terus menurun sejak 2021, dengan proyeksi hanya Rp10,6 miliar pada 2025—jauh di bawah capaian 2019 yang mencapai Rp54,4 miliar.

“Ini ironi. Potensi besar, tapi dana yang masuk minim dan terus turun. Ini tak bisa terus dibiarkan,” katanya.

Provinsi Kalbar memiliki 57 persen wilayah berupa kawasan hutan, 17 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dan kawasan gambut seluas 2,7 juta hektare.

Hingga pertengahan 2025, tercatat 65 unit Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan luas konsesi 2,75 juta hektare dan 114 industri pengolahan hasil hutan.

Program perhutanan sosial juga mencakup 271 unit dengan total lahan 701.862 hektare.

Namun, masih ada persoalan lama yang belum terselesaikan. Piutang PNBP dari Pemanfaatan Kawasan Hutan (PKH) masih menggantung, yakni sekitar Rp73,4 miliar, meski setoran sudah mencapai Rp204,3 miliar.

Menurut Norsan, tak ada skema bagi hasil untuk dana ini, sehingga daerah kesulitan melakukan pengawasan.

Desak Arah Baru

Rakor ini, menurut Norsan, menjadi momentum penting untuk merumuskan langkah kolektif memperjuangkan hak fiskal daerah.

Ia mengajak seluruh kepala daerah di Kalimantan membangun konsolidasi memperkuat posisi tawar dalam kebijakan fiskal nasional.

“Kita perlu duduk sama-sama, membangun kekuatan bersama. Kita tak bisa lagi hanya menunggu belas kasih dari pusat. Sumber daya ada di sini, maka keuntungannya juga harus kembali ke sini,” ujarnya.

Norsan menekankan, perjuangan ini bukan hanya untuk Kalimantan Barat, tetapi untuk seluruh daerah penghasil SDA yang selama ini terpinggirkan dalam desain kebijakan fiskal nasional.