JAKARTA — Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, menegaskan komitmennya terhadap pembangunan hijau di Kalbar saat menghadiri Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2025).
Forum nasional itu mengangkat tema “Menapak Paradigma Baru: Inovasi dan Integritas untuk Pendanaan Hijau yang Transformatif.”
Acara yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) itu dihadiri sejumlah tokoh nasional, termasuk Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono dan Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto.
Ria Norsan menyebut, Kalbar telah menerima dukungan pendanaan dari berbagai sumber yang akan difokuskan pada kegiatan pelestarian lingkungan dan penghijauan.
“Alhamdulillah, kita mendapat dana dari berbagai sumber. Dana ini akan kita manfaatkan untuk mendorong pembangunan hijau dan menghadapi dampak perubahan iklim,” kata Norsan.
Meski belum menjelaskan program teknis secara rinci, Norsan menegaskan arah penggunaan dana akan selaras dengan agenda hijau yang mulai diarusutamakan di Kalbar.
Darurat Iklim dan Ancaman ‘Global Boiling’
Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, mengingatkan bahwa dunia sedang berada dalam kondisi darurat iklim. Ia menyebut tahun 2024 sebagai tahun dengan suhu global tertinggi dalam sejarah, berdasarkan data Climate Central, Princeton, AS.
“Panas yang kita alami bukan lagi alami, tapi hasil aktivitas manusia. Jika suhu naik 1,5 derajat, es di kutub mencair. Naik 2 derajat, musim panas bisa tanpa es dalam 10 tahun,” ujar Diaz.
Ia memperingatkan, pencairan es di Greenland berpotensi menaikkan permukaan laut hingga 7 meter — kondisi yang ia sebut sebagai “global boiling”, menggantikan istilah lama “global warming”.
Sampah: Sumber Emisi yang Terabaikan
Diaz juga menyoroti sampah sebagai sumber emisi gas rumah kaca yang kerap diabaikan. Satu ton sampah disebut menghasilkan sekitar 1,7 ton emisi karbon.
“Jakarta menghasilkan 7.500 ton sampah per hari. Secara nasional, mencapai 1,7 miliar ton per tahun. Ini bukan sekadar soal TPA, tapi soal masa depan bumi,” ujarnya.
Saat ini, pengelolaan sampah secara nasional baru mencapai 39 persen. Jika dihitung dari kapasitas infrastruktur, angkanya lebih rendah lagi: hanya 9–14 persen.
Pemerintah menargetkan pengelolaan 50 persen sampah pada 2025, dan 100 persen pada 2029. Namun, capaian tersebut masih jauh. Diaz menyebut, kota/kabupaten yang masih memiliki TPS liar atau landfill tak dikelola akan langsung dicoret dari penilaian Adipura.
“Kalau masih ada TPS liar, ya jangan berharap dapat Adipura,” tegasnya.
Tantangan NZE 2050: Butuh Rp4.000 Triliun
Pemerintah juga telah merevisi target Net Zero Emission (NZE) dari 2060 menjadi 2050. Namun, pencapaian itu memerlukan dana besar. Perwakilan Bappenas menyebut kebutuhan dana mencapai Rp4.000 triliun hingga 2030.
“Target ini mustahil tercapai jika kita masih pakai pendekatan business as usual. Semua harus bergerak seiring ekonomi hijau,” katanya.
Bima Arya: “Selamat Tinggal Global Warming, Selamat Datang Global Boiling”
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, ikut menyuarakan kekhawatiran soal krisis iklim dengan diksi tajam.
“Selamat tinggal global warming, selamat datang global boiling,” ucapnya.
Ia menyebut, perubahan iklim bukan lagi isu akademik atau slogan aktivis, melainkan krisis nyata yang mengancam masa depan.
“Target ekonomi Indonesia 2045 tidak akan tercapai jika kita gagal menekan emisi. Green economy bukan pelengkap, tapi prasyarat,” ujarnya.
Bima menekankan pentingnya kepemimpinan hijau di daerah, baik oleh kepala daerah maupun DPRD. Menurutnya, ada empat pilar yang harus diperkuat: kolaborasi dengan sektor swasta, penguatan ruang hijau, perubahan perilaku masyarakat, dan reformasi fiskal daerah.
“Tugas kita bukan sekadar bikin CFD atau matikan lampu. Kita butuh perubahan sistemik dari hulu ke hilir,” tegasnya.