banner 468x60
Peristiwa

Dokter RS Kartika Husada Jelaskan Kronologi Pasien BPJS Asal Sambas yang Gagal Jalani MRI

×

Dokter RS Kartika Husada Jelaskan Kronologi Pasien BPJS Asal Sambas yang Gagal Jalani MRI

Sebarkan artikel ini

KUBU RAYA — Rumah Sakit Kartika Husada di Kubu Raya angkat bicara terkait informasi yang beredar mengenai seorang pasien BPJS asal Sambas yang disebut gagal menjalani pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Pasien tersebut, Ali Suhardi (47), warga Desa Mak Tanggok, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, sebelumnya dirujuk oleh RSUD Abdul Aziz, Singkawang.

Dokter RS Kartika Husada, Rahmat Fajri, membantah kabar yang menyebut rumah sakit menolak pasien tersebut karena antrean penuh.

Ia menjelaskan bahwa Ali Suhardi datang ke RS Kartika Husada pada 14 Mei 2025 dengan rujukan dari dokter ortopedi RSUD Abdul Aziz untuk menjalani MRI.

“Pasien sudah kami daftarkan, diperiksa oleh dokter, dan dijadwalkan untuk MRI. Jadi informasi yang menyebutkan antrean penuh tidak benar,” kata Rahmat saat dihubungi, Kamis, 22 Mei 2025.

Rahmat menjelaskan, di Kalimantan Barat hanya ada dua rumah sakit yang menyediakan layanan MRI, yakni RS Kartika Husada dan RSUD dr. Soedarso Pontianak.

Kondisi ini menyebabkan antrean layanan MRI bisa memakan waktu antara lima hingga tujuh hari.

“Saat itu kami sebenarnya menyarankan agar pasien dirawat inap agar bisa mendapat prioritas layanan MRI, mengingat pasien mengeluhkan nyeri. Tapi pasien dan keluarga menolak tawaran rawat inap,” ujarnya.

Sesuai jadwal, Ali Suhardi kemudian menjalani MRI pada 19 Mei. Namun, proses MRI mengalami kendala karena pasien tidak bisa tetap diam akibat rasa nyeri yang dirasakan, meski sudah tiga kali dilakukan pengambilan gambar.

“Prosedur MRI memerlukan ketenangan dan minim gerakan selama sekitar 30 hingga 50 menit. Karena pasien terus bergerak, hasil pemeriksaan tidak bisa terbaca,” kata Rahmat.

Karena hasil MRI tidak bisa didapatkan, pihak rumah sakit menyarankan agar pasien kembali ke RSUD Abdul Aziz untuk penanganan awal. Hal ini bertujuan agar pasien bisa menjalani terapi atau mendapatkan penanganan anestesi khusus sebelum kembali menjalani MRI.

“Soal bius, perlu diketahui bahwa MRI tidak bisa dilakukan dengan anestesi biasa. Kami tidak bisa menggunakan anestesi penuh di sini karena MRI kami belum dilengkapi oksigen sentral dan masih menggunakan tabung logam, sehingga tidak memungkinkan penggunaan alat anestesi tertentu,” paparnya.

Menurut Rahmat, solusi terbaik adalah mengembalikan pasien ke rumah sakit pengirim agar bisa dirujuk ke dokter anestesi dan mendapatkan terapi nyeri terlebih dahulu.

“Jadi, bukan soal antrean penuh. Pasien sudah diperiksa dan dijadwalkan. Tapi karena nyeri hebat, proses MRI tidak bisa dilakukan. Dari awal kami juga sudah terbuka untuk memberikan rawat inap agar bisa diprioritaskan. Kami ingin membantu, tapi semua ada prosedurnya,” pungkasnya.