Larangan Kita yang Tak Selalu Baik dan Membaikan

AKSARALOKA.COM, PONTIANAK – “Suatu hari nanti…merekalah yang akan menggantikan posisi kita mengisi shaf2 di masjid,” persis begitu sebuah akun facebook bernama Amar Khaleed memberi caption pada postingannya.

Sejak diposting pada 16 Juni 2022 lalu, penggalan video berdurasi 26 detik itu telah disukai sebanyak 4,2 ribu, 513 komentar, dan 5,9 ribu kali dibagikan. Dan saya adalah bagian dari satu di antara ribuan akun yang membagikannya.

Video yang saya maksud itu sebenarnya memperlihatkan sebuah potongan rekaman CCTV di sebuah masjid yang entah di mana. Terlepas entah dari mana asalnya, saya adalah satu di antara banyak orang yang protes bagaimana kita–orang dewasa–memperlakukan anak-anak di masjid.

Bagaimana tidak, di dalam video itu memperlihatkan akan dimulainya sholat berjamaah. Anak-anak ditempatkan pada shaf paling belakang. Tapi yang namanya anak-anak, jiwa bermainnya pasti melekap kepada mereka. Video itu juga memperlihatkan ada beberapa anak yang bermain-main bahkan ketika sholat sudah dimulai.

Lalu tiba-tiba, dari shaff depan ada seorang pemuda menerobos beberapa shaf di belakang menuju barisan anak-anak itu. Tanpa basa-basi, pemuda bersarung biru dan berpeci putih itu langsung mendorong dengan keras hingga mengenai seorang anak. Saking kerasnya dan tanpa aba-aba, anak itu terpental dan terkapar. Di bagian ini, video itu terpotong dan hanya memperlihatkan anak tersebut sempat tak beranjak dari lantai akibat hantaman keras sebelum akhirnya bersusah payah berdiri dan kembali ke barisan shafnya. Saya tidak tahu bagaimana nasib anak tersebut.

Melihat kembali potongan video itu, saya prediksi pemuda tersebut protes lantaran anak-anak (mungkin) membuat keributan saat sholat akan dimulai. Tapi, saya adalah satu di antara sekian banyak orang, yang juga merepresentasikan postingan Amar Khaleed yang sangat tidak setuju dengan cara-cara kekerasan dalam menyampaikan protes. Terlebih terhadap anak-anak.

Melihat kembali, satu kali lagi postingan itu, lalu tiba-tiba saya teringat tentang pesan whatapps yang pernah saya terima dari seorang teman. Sudah cukup lama sebetulnya. Tapi, menurut saya apa yang ingin saya ceritakan kembali ini masih sangat relevan bila dikorelasikan dengan kejadian di atas.

“Miris,” kata seorang teman melalui pesan whatapp saat menghubungi saya. Tapi kemudian diikutinya dengan kalimat semacam pemakluman. “Tapi, ya beginilah lingkungan kita,” katanya.

Itu, teman saya sedang mengomentari fenomena prostitusi anak yang tengah marak di Pontianak. Sebetulnya saya cukup jenuh kalau harus membahasnya lagi. Terlebih hari itu.

Selain karena sudah jauh-jauh hari pernah saya liput, pun saya merasa semestinya momentum ini menjadi refleksi diri bahwa kitalah yang mempersiapkan fenomena hari ini terjadi. Bahkan sejak dari lingkungan terdekat kita. Bukan justru saling menyalahkan dengan spekulasi-spekulasi.

Sebelum semakin jauh saya menuliskan ini, saya ingin sedikit bercerita. Jumat lalu, di sebuah pertemuan, tiba-tiba seorang ibu-ibu nyeletuk kepada saya.

“Itu, ada lagi yang ditangkap, banyak tu. Udah dibawa,” kata si ibu-ibu itu seolah bertanya kenapa tidak saya liput.

Saya tahu yang ia maksud itu soal penangkapan beberapa hari sebelumnya. Menurut cerita, si ibu-ibu ini pernah mendampingi anak tetangganya di kantor polisi saat terjaring rajia di hotel.

“Saya mulai jenuh meliputnya, Bu,” kata saya.

Dia diam, tak lama kemudian adzan dari toa masjid terdengar. Saya pamit dengan si ibu-ibu ini untuk sholat Jumat, sekaligus mengakhiri obrolan kami. Di masjid inilah kesadaran saya pelan-pelan terbentuk tentang sebetulnnya kita inilah pihak yang mempersiapkan fenomena anak hari ini terjadi.

Meski sedikit telat, tapi saya masih bisa dapat shaff kedua paling depan di teras masjid. Di depan saya ada seorang laki-laki. Dari penampakannya, saya prediksi sedikit lebih tua dari saya.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya, melainkan sebuah kalimat yang ditempel di dinding depan laki-laki itu.

“ANAK-ANAK DILARANG BERMAIN DI MASJID” kemudian diikuti tiga tanda seru di belakangnya. Penampakan kertasnya sudah usam dan beberapa warna huruf luntur, mungkin karena sudah bertahun-tahun ditempel di dinding itu.

Sebetulnya, tanpa tiga tanda seru, secara redaksi dan linguistik penggunaan kata ‘DILARANG’ itu sudah menunjukkan ketegasan yang teramat tegas. Apalagi huruf kapital semua. Bahkan, pemilihan diksi itu juga berisi pesan tentang sanksi yang akan didapat apabila dilanggar.

Coba ingat-ingat, berapa seringnya kita mendengar masyarakat menjustifikasi dan men-generalisir perbuatan anak-anak apabila ‘dianggap’ melanggar larangan yang kita buat di tempat-tempat ibadah itu.

“Si Anu itu, anaknya si Anu main-main di masjid” begitu kira-kira penampakkan. Seolah menganggap bahwa bermain di masjid adalah kesalahan yang teramat besar dan tak termaafkan.

Nama anak disebut sebagai tidak masuk ajar, sementara nama orangtua si anak disebut sebagai bentuk tidak memberi ajar. Stigma ini terbentuk sebagai sanksi sosial yang jauh meluas atas diri anak itu sendiri.

Itu belum seberapa dibanding orang yang mendapat informasi itu tidak mengenal si anak. Bukan hanya nama orangtua, usaha menegaskan identitas si anak mungkin sampai alamat rumah dan silsilah nama-nama keluarga mereka yang sudah tertancap di batu nisan pun turut disebut.

“Cucunya si almarhum pak Anu, keluarganya si Anu itu, yang rumahnya di sana,”.

Lambat laun, larangan ini meluas hingga pada anggapan, yang entahlah. Saya tidak menemukan diksi yang pas.

“Tolong bapak-bapak diisi shaf depannya. Anaknya mundur ke belakang saja,” kata imam masjid suatu kali.

Pemahaman agama saya jauh dari kata lurus, bahkan begitu dhaif. Namun, apakah salah bila saya berfikir di bumi ini kita seolah-olah hanya ingin selamat sendiri. Merasa kehadiran anak di masjid berpotensi mengurangi kadar nilai ibadah yang kita kerjakan.

Tentu kita sepakat, karakter anak tergantung lingkungan sekitarnya. Baik lingkungannya, maka baiklah karakter mereka terbentuk. Namun di lain sisi justru kita yang menjauhkan jarak mereka dari tempat-tempat yang baik itu. Kita memberikan ruang kosong pada kehidupan anak dan menutupnya rapat-rapat dengan dalih dan larangan yang kita buat.

Lama kelamaan, ruang kosong itu diisi dengan pilihan lain. Anak-anak merasa senang bermain di luar. Langkah-langkah mereka semakin menjauhi tempat-tempat yang punya simbol agama. Karena apa? Karena di hotel tidak ada larangan semacam yang mereka baca di dinding masjid itu. Di kemudian hari kita mengecam keras apa yang mereka buat. Kita berteriak mengeluarkan taring-taring kita sambil berkata “Di mana orangtuanya tidak bisa mengawasi anak-anaknya,” padahal tanpa sadar apa yang mereka lakukan adalah bentuk kontribusi atas perbuatan kita sendiri, atas larangan kita.

“Harus dikejar pembinaan oleh Pemkot setelah ditangkap-tangkap kemarin,” kata seorang teman yang lain mengirimi saya pesan whatapp hari itu dengan bahasan yang sama.

Tapi kalau boleh berpendapat, sebelum kita membusungkan dada kemudian menunjuk-nunjuk pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap anak itu, menurut saya berani tidak kita sembari memulainya dari lingkungan sekitar dulu. Mencopot kertas-kertas larangan anak-anak bermain di masjid, kemudian ajak anak-anak itu ke masjid tanpa rasa takut yang kita buat-buat, misalnya.

Saya pikir tidak ada salahnya, selama tidak melanggar norma bahkan sampai menggoyangkan NKRI tercinta ini, biarkan mereka belajar dari pengalaman bermain bersama temannya di pelataran atau teras masjid. Seperti yang saya bilang di atas, tempat baik akan berdampak baik pada siapapun. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Dan atas sikap kita, karakter anak menentukan kebetahan mereka terhadap tempat-tempat yang baik dan membaikkan bagi mereka.

Respon (66)

Komentar ditutup.

error: Content is protected !!