MEMPAWAH – Eksekusi kasus jual beli lahan sengketa seluas 20 hektare di Jalan Raya Wajok, Kecamatan Jongkat, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat ricuh, Selasa (22/8/2023).
Keluarga dan kerabat tergugat Flavianus Fexa yang merupakan ahli waris pemilik lahan ini, sempat menolak pengosongan serta penyegelan lokasi yang merupakan bekas pabrik pengolahan kayu dan pergudangan ini.
Petugas Pengadilan Negeri Mempawah dikawal aparat Polres Mempawah, mendobrak paksa pintu gerbang besi yang tertutup setelah upaya mediasi yang alot.
Akibat hal ini, keributan pun pecah. Kedua belah pihak terlibat adu mulut dan saling dorong hingga melukai kerabat tergugat. Beruntung situasi yang memanas ini akhirnya mampu diredam aparat kepolisian.
“Kami diperintahkan oleh Ketua PN Mempawah untuk melaksanakan delegasi dari Ketua PN Pontianak dalam hal ini pengosongan objek yang disengketakan,” jelas Juru Sita PN Mempawah, Ali Aspar.
Dia mengatakan, perkara sengketa lahan antara pemohon Gunawan Candra dan termohon Flavianus Fexa ini sudah bergulir sejak tahun 2016 dan berproses di Pengadilan Negeri Pontianak.
“Ini sudah inkrah. Sehingga awalnya kami lakukan konstatering atau pencocokan tanah. Kemudian kita lakukan sita eksekusi, barulah kita eksekusi rill,” ujarnya.
Dasar eksekusi ini adalah melakukan perintah Ketua Pengadilan Negeri Mempawah atas dasar isi putusan Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Tinggi Pontianak, kasasi dan peninjauan kembali (PK).
Ali Aspar menanggapi penolakan eksekusi dari tergugat dalam hal ini pihak Flavianus Fexa. Menurutnya pengadilan telah memberikan peringatan atau aanmaning untuk pengosongan lokasi namun tak dilakukan.
“Dari Mei 2022 tidak ada itikad baik untuk mengosongkan objek yang disengketakan. Sehingga kami melakukan upaya paksa,” pungkasnya.
Sementara itu tergugat, Flavianus Fexa merasa dirugikan dan dizalimi atas eksekusi ini. Pasalnya, dia merasa tak pernah menerima pembayaran uang ganti rugi sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Flavianus bakal menempuh proses hukum kembali dengan menggugat Ketua Pengadilan Negeri Pontianak melalui PTUN. Flavianus merasa dirugikan atas eksekusi lahan tersebut.
“Saya gugat ketua PN yang mengeluarkan eksekusi dan konsinyasi. Dia megang duit, artinya perampokan. Mereka megang duit mereka eksekusi. Saya tidak terima pembayaran tetapi mengapa dieksekusi,” katanya.
Kasus ini bermula saat penggugat, Gunawan Candra melalui Cau Phen menyewa lahan tersebut yang merupakan milik ahli waris Flavianus Fexa. Saat itu, lahan masih dalam agunan bank dan akan dibeli oleh penggugat.
Perjanjian jual beli pun dilakukan di hadapan notaris. Penggugat menjanjikan akan membayar ke pihak Flavianus senilai 1,6 miliar. Namun saat kwitansi ditandatangani, uang itu tak pernah diterima hingga sekarang.
Sampai pada 2016, penggugat menggugat Flavianus di Pengadilan Negeri Pontianak. Namun saat putusan, hakim memutuskan pihak penggugat sudah membayar sejumlah uang.
Padahal dalam fakta persidangan serta keterangan para saksi, bahwa tergugat tidak pernah menerima uang sepeser pun. Hal ini membuat Flavianus melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Kalbar dan menang.
Kendati demikian, saat penggugat mengajukan kasasi di Mahkamah Agung, Flavianus kalah dan diharuskan menyerahkan lahan pergudangan tersebut. Penggugat dianggap telah membayar dengan bukti kwitansi yang sudah ditandatangani.
Atas polemik perkara ini, Flavianus merasa menjadi korban mafia peradilan dan penyerobotan tanahnya.
“Bagaimana saya terima (uang), ini pengakuan pengadilan (belum terima uang). Proses hukum berlanjut di PTUN, siapa pun terlibat sini instansi mana pun saya akan tuntut,” tegasnya.
Sementara itu, kuasa hukum Gunawan Candra selaku penggugat, Ferdy menjelaskan perkara ini bergulir sejak 2016 dan sampai di Mahkamah Agung dan peninjauan kembali atau PK.
“Sehingga kami sudah mohonkan pelaksanaan eksekusi ini sejak 2021. Cukup lama juga sehingga prosesnya mau tidak mau harus dilakukan,” katanya.
Dia mengatakan, pihaknya memegang putusan Mahkamah Agung bahwa kliennya tersebut punya kewenangan atas lahan tersebut.
“Dinyatakan sangat jelas dalam putusannya,” ujarnya.
Bahkan menurut Ferdy, ada putusan yang menghukum secara paksa tergugat untuk menaati putusan MK ini. Jika menolak pengosongan, maka akan dikenakan sanksi pembayaran satu hari Rp1 juta.
“Mulai inkrah sampai dengan dilaksanakan. Tapi kami tidak pernah lagi mempermasalahkannya. Tapi kami minta ditaati diserahkan,” pungkasnya.