Hakim merupakan pilar penting dalam dunia penegakan hukum. Sebab, hakim mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa skema pelemahan penegakan hukum dan intervensi politik masih terus merongrong independensi hakim dan peradilan melalui cara-cara inkonstitusional.
Skema besar untuk melemahkan dunia penegakan hukum dan keadilan melalui pemiskinan hakim tercermin dengan diabaikannya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 P/Hum/2018.
Sebab hingga kini belum pernah dilakukan peninjuan untuk menyesuaikan nominal tunjangan hakim.
Padahal, putusan tersebut telah memutuskan tunjangan hakim yang didasarkan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung sudah tidak relevan lagi karena biaya hidup sehari-hari terus naik dari tahun ke tahun akibat inflasi.
Sebagai perbandingan adalah harga emas pada tahun 2012 hanya Rp. 584.000 (lima ratus delapan puluh empat ribu rupiah), akan tetapi pada tahun 2024 ini harga emas telah mencapai 1.464.000 (satu juta empat ratus enam puluh empat ribu rupiah), atau telah mengalami kenaikan sebesar 250 persen.
Akibatnya, saat ini banyak hakim-hakim di daerah yang hidupnya sangat memprihatinkan. Bahkan, tidak sedikit hakim yang harus rela untuk hidup berjauhan dengan keluarganya.
Sebab, hakim tersebut tidak akan mampu untuk membeli tiket pulang ke kampung halamannya bersama keluarga ketika momen libur lebaran ataupun natal.
Ironisnya, terdapat beberapa hakim di daerah yang meninggal dunia tanpa didampingi oleh keluarganya.
Besarnya perjuangan dan pengabdian hakim-hakim di daerah tersebut justru diabaikan oleh negara.
Bahkan, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman, hakim yang sudah tidak lagi menyandang status Aparatus Sipil Negara (ASN), tetapi penggajiannya masih mengikuti ketentuan ASN.
Ironis, karena hakim sudah dinyatakan sebagai pejabat negara, maka hakim tidak berhak mendapatkan remunerasi.
Sehingga, pendapatan hakim di Indonesia saat ini sudah sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan penghasilan hakim-hakim di negara lain.
Bahkan, jika dibandingkan dengan penghasilan hakim di Malaysia yang mencapai Rp 40 juta setiap bulannya, maka penghasilan hakim di Indonesia yang hanya Rp. 12 juta, tidak mencapai setengahnya.
Selama ini hakim selalu dituntut untuk selalu bekerja secara profesional dan mentaati kode etik. Namun, dengan kondisi seperti ini maka independensi hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan menjadi sangat terancam.
Sebab, hakim akan sangat rentan menerima suap. Hakim juga manusia biasa yang memiliki keluarga dan membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan untuk dapat menunjang tugas pokoknya.
Namun, dengan tidak terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari hakim, maka cita-cita untuk mewujudkan negara hukum melalui lembaga peradilan menjadi sulit tercapai.
Untuk itu, maka sudah sepatutnya kekuasaan kehakiman diberikan “hak budgeting” untuk mengelola dan mencukupi kebutuhannya sendiri.
Sebab, tanpanya adanya hak budgeting seperti institusi lainnya, maka kekuasaan kehakiman tidak akan dapat merdeka dari pengaruh kekuasaan yang lain.
Padahal,sikap kemandirian hakim dari campur tangan pihak manapun dan juga dalam bentuk apapin untuk menegakkan hukum dan keadilan terssebut telah ditegaskan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.
PENULIS: Ubed Bagus Razali (Hakim Pengadilan Agama Selatpanjang)
1993, 187 261 8 can i get generic cytotec without prescription