Ditetapkan Tersangka dan Ditahan Jaksa, Mantan Ketua DPRD Kalbar Melawan

AKSARALOKA.COM, PONTIANAK – Penyidikan Kejati Kalimantan Barat atas dugaan kasus korupsi pengadaan tanah Bank Kalbar Tahun 2015 terjadi perlawanan. PAM yang merupakan mantan Ketua DPRD Kalbar mempraperadilkan penyidik kejaksaan.

Sidang perdana praperadilan dengan termohon atas nama PAM yang diwakili para penasehat hukumnya itu pun digelar di Pengadilan Negeri Pontianak, Selasa 19 November 2024.

Dalam sidang tersebut, kuasa hukum PAM meminta agar hakim menyatakan penetapan tersangka terhadap tidak sah. Sebab, perkara tersebut dinilai tak memenuhi dua alat bukti yang cukup. Selain itu, tersangka tak pernah diperiksa sebagai calon tersangka, bahkan tak ada audit kerugian negara dalam kasus ini.

Untuk diketahui, PAM adalah tersangka keempat yang ditetapkan Kejati Kalbar. Dia adalah pihak penerima kuasa jual tanah. Sebelum PAM, tiga tersangka lainya lebih dulu mengajukan praperadilan, dan dikabulkan oleh Hakim Joko Waluyo.

Putusan hakim tunggal Joko Waluyo pada, Selasa 12 November 2024 menyatakan penyidikan, penetapan dan penahanan tiga tersangka yang dilakukan Kejati Kalbar tak sah. Bahkan hakim memerintahkan kepada Kejati Kalbar membebaskan ketiga tersangka dari tahanan.

“Ada beberapa alasan yang membuat pihaknya melakukan praperadilan. Diantaranya, kasus tersebut adalah perkara pengulangan yang pernah dilakukan penyelidikan oleh Kejari Pontianak tahun 2022,” kata Glorio Sanen Kuasa hukum, PAM.

Selain itu, lanjut Glorio Sanen, penyelidikan yang dilakukan Kejari Pontianak dihentikan atau tidak dilanjutkan ke tahap penyidikan karena tidak ada bukti permulaan yang cukup.

Dikatakan Sanen, namun perkara ini dilakukan penyelidikan kembali oleh Kejati Kalbar, pada Juli 2024. Kejati mengeluarkan lagi surat perintah penyelidikan. Akhirnya, klienya PAM kembali dipanggil sebagai saksi pertama untuk tiga tersangka yakni SDM, MF dan SI. Lalu kemudian ditetapkan tersangka dihari yang sama.

“Klien kami di BAP, tak menjawab, dihari yang sama juga langsung dilakukan penahan,” ungkap Sanen.

“Penetapan tersangka kepada klien kami tak didasari dua alat bukti yang sah. Sebab, sampai hari ini belum ada audit kerugian negara,” sambung Sanen.

Sanen menyatakan, kemudian dalam proses pembayaran tanah sudah mengacu pendapat hukum termohon (Jaksa) dan waktu itu, tidak pernah dipermasalahkan bahkan semuanya sudah sesuai prosedur.

“Klien kami (PAM) disangkakan dengan Pasal 2 dan 3 Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 55 KUHP. Jika berbicara pasal 2 dan 3 maka, bukti adanya kerugian negara harus ada. Namun, dalam perkara ini, belum ada audit kerugian negara,” terang Sanen.

Sanen menegaskan, dengan tidak adanya audit yang menyatakan adanya kerugian negara, maka tidak ada kasus korupsi, ini sudah dinyatakan oleh fatwa Mahkamah Agung dan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Sanen juga menyinggung putusan praperadilan nomor 12 kepada SDM, MF dan SI. Penetapan ketiganya juga dinyatakan tak sah, karena dilakukan di hari yang sama saat klienya dipanggil saksi, tanpa adanya ekspos terlebih dahulu. Disamping itu, pasal 2 dan 3 UU Tipikor, merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan orang yang punya jabatan dan kedudukan. Namun, dengan putusan praperadilan nomor 12, maka jelaslah, pihak yang punya kedudukan pun diputus tidak sah penetapan tersangkanya.

“Seharusnya klien kami juga dinyatakan tak sah sebagai tersangka karena tak mungkin ada tersangka tunggal,” cecar Sanen.

Sementara itu, Irenius Kadem menambahkan, selain tak memenuhi dua alat bukti, penetapan tersangka kepada klienya hanya karena dia menerima kuasa. Padahal, kuasa diberikan sejak awal tak pernah dipermasalahkan pihak termohon, yakni Jaksa Pengacara Negara (JPN).

“Kita juga melihat penyidikan perkara tidak sesuai kuhap, perkara ini juga pengulangan, dan tidak ada audit keuangan yang diajukan,” kata Irenius Kadem.

Sementara itu, Alfonsius Girsang berharap konsistensi Pengadilan Negeri Pontianak untuk mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan PAM. Sebab, perkara tersebut adalah perkara yang sama.

“Kami sebagai kuasa hukum pemohon berharap adanya konsistensi Pengadilan Negeri Pontianak, khususnya hakim peradilan agar tak ada keraguan di masyarakat kok bisa ada perbedaan putusan perkara yang sama,” tutup Alfonsius.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!