AKSARALOKA.COM, MELAWI-Kemarau di pertengahan bulan Agustus ini membuat sebagian besar wilayah di Kabupaten Melawi menjadi kering. Namun tidak dengan Dusun Sebaju Desa Nanga Kebebu Kecamatan Nanga Pinoh Kabupaten Melawi.
Udara disini masih terasa sejuk.
Banyak pepohonan besar, seperti kayu bengkirai, meranti dan pohon durian, sedangkan di sekelilingnya ada bambu, pakis dan tanaman lain yang tumbuh subur di wilayah ini. Masyarakat disana menyebutnya dengan Rasau Sebaju.
“Rasau Sebaju adalah kawasan hutan adat yang ada di Dusun Sebaju desa Nanga Kebebu. Ini adalah hutan warisan nenek moyang” kata Ari Susanto kepala Desa Nanga Kebebu.
Keberadaan Rasau Sebaju di Desa Nanga Kebebu sangat penting bagi masyarakat di sana, karena menjadi penyangga terakhir yang ada di wilayah kecamatan Nanga Pinoh Kabupaten Melawi.
Arealnya didominasi oleh ekosistem hutan rawa gambut dengan luas sekitar 200,912 hektar. Wilayahnya dibagi dalam 4 zonasi, terdiri dari Zona Lindung (54, 234 hektar), Zona Pemanfaatan (90,831 hektar), Zona Penanaman (25,690 hakter ), dan sisanya masuk ke dalam daerah Zona Tradisional, Zona Tradisional merupakan zona terkait aktivitas masa lalu masyarakat Sebaju.
“Nenak moyang kita dulu mewajibkan untuk melestarikan hutan tersebut sampai ke anak cucu kita nanti, jadi hutan ini tidak boleh diwariskan atau dijual, hutan ini milik bersama dan harus dijaga bersama,” lanjut Ari Susanto.
Masyarakat Dusun Sebaju dikenal memiliki semangat gotong royong yang tinggi, bukan hanya dalam masalah sosial kehidupan sehari-hari. Seperti pada saat ada acara pernikahan, warga di sana biasanya menyiapkan makanan di rumah masing-masing.
Ketika ada tamu yang datang mereka bisa singgah di rumah manapun dan makan di mana saja. Adat ini disebut dengan adat kebahant.
Sedangkan dalam menjaga hutan adat atau Rasau Sebaju masyarakat di sana juga sangat kompak. Terbukti setiap ada kegiatan yang dilaksanakan, pasti masyarakat melibatkan diri secara aktif.
Untuk menjaga hutan, disana juga dibentuk kelompok Pasak Sebaju. Kelompok tersebut mempunyai tanggung jawab untuk menjaga hutan adat warisan nenek moyang yang ada di sana. Sebab hutan menjadi urat nadi bagi masyarakat Sebaju.
Untuk memperkuat kewenangan masyarakat dalam mengelola hutan, warga di Sebaju sudah sejak lama mengajukan permohonan untuk pengelolaan hutan adat, bahkan sudah tahap verifikasi di tingkat kabupaten.
Selanjutnya tinggal menunggu persetujuan dari kementerian. “Sudah diverifikasi tinggal nunggu dari kementerian LHK,” kata Tokoh masyarakat Nanga Kebebu Yusli.
Hukum Adat Masyarakat di Sebaju memiliki peraturan tertulis dan tidak tertulis yang disepakati bersama dalam memperlakukan hutan. Tidak boleh ada yang menebang pohon sembarangan di kawasan tersebut. Jika ada yang melanggarnya maka akan dikenakan sanksi adat.
Hukum-hukum adat ini memang menjadi bagian keseharian warga Dusun Sebaju. Ditambah lagi beberapa kearifan lokal yang disepakati bersama. Bahkan, aturan adat dan kearifan ini telah dijadikan peraturan Lembaga Pasak Sebaju.
Peraturan Lembaga Pasak Sebaju Nomor 01 Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Rasau Sebaju.
Beberapa peraturan adat Sebaju diantaranya adalah, Langkah Lalu, yaitu suatu perlakuan kepada orang pendatang yang masuk ke Rasau Sebaju tanpa sepengetahuan Lembaga Pasak Sebaju. JIka ini terjadi maka orang tersebut akan dikenakan hukum adat Langkah Lalu.
Hukumannya membayar 40-60 real dengan satu real sama dengan 1 gram emas. Ada pula yang dikenal dengan istilah Gunung Timbul (ganti rugi).
Tak jarang ada binatang ternak berkeliaran masuk kawasan Hutan Rasau Sebaju dan menyebabkan kerusakan tanaman di kawasan Hutan Rasau Sebaju. Pemilik kawanan ternak bisa dituntut membayar adat Gunung Timbul sebanyak 2 real sampai 10 real.
Besar, kecilnya pembayaran tergantung atas kebijaksanaan pengurus Rasau Sebaju. Kalau ladang sampai kemasukan binatang Babi, maka Babi tersebut harus dibunuh dan ganti rugi diberikan sesuai kerugian dan kesepakatan.
“Sudah ada berbagai peraturan yang dibuat untuk melindungi kawasan hutan Sebaju, karena itu kami bisa menyebut hutan ini sebagai hutan adat,” kata ketua Pasak Sebaju Syahdan.
Upaya untuk melindungi Rasau Sebaju ini dilaksanakan sangat serius oleh masyarakat. Bahkan beberapa pihak juga terlibat di dalamnya. Hal ini bertujuan agar tekad mereka dalam melindungi Rasau Sebaju bisa terwujud dan dilihat oleh anak cucu mereka kedepannya.
“Masyarakat adat suku Khatab Kebahan, khususnya Pasak Sebaju desa Nanga Kebebu. Menganggap bahwa hutan Adat adalah sumber, maka dari itu jangan biarkan lenyap tanpa ada upaya maksimal,” katanya.
Potensi Bumdes
Upaya masyarakat yang mempertahankan Rasau Sebaju sebagai hutan adat bukan tanpa alasan. Sebab potensi alamnya sangat luar biasa. Banyak buah-buahan yang tumbuh subur di hutan itu. Seperti asam maram, asam gandis, buah durian dan sayur mayur.
“Disamping itu ada potensi ada madu kelulut, ada buah gandis yang bisa untuk sirup dan untuk sayur juga, banyak tumbuhan lainnya, serta menjadi tempat masyrakat mncari ikan lele kampung. Begitu juga kalau sudah musim durian, siapapun boleh ambil durian dan memakannya,” kata Ari Susanto.
Di Sebaju Desa Nanga Kebebu sudah ada 100 lebih sarang lebah madu kelulut yang dikelola secara perorangan ataupun kelompok.
Perkembangan madu kelulut di dusun inipun begitu cepat jika dibandingkan dengan daerah lain yang ada di Melawi, karena kawasan hutannya masih terjaga sehingga sumber makanan untuk madu kelulut masih terjaga.
Tidak heran jika warga di sana berusaha untuk mempertahankan Rasau Sebaju tetap alami dan tidak terjamah oleh oknum tak bertanggung jawab.
Selain manfaat secara ekonomi, keberadaan Rasau Sebaju juga menjadi benteng untuk mencegah terjadinya banjir. Apalagi kawasan hutan sebaju masuk dalam kategori daerah rawa.
Melihat potensi yang begitu luar biasa, hutan adat Rasau Sebaju ini juga memiliki potensi untuk dikelola oleh bumdes. Baik sumber daya alamnya, maupun menjadi kawasan wisata alam yang bisa dikunjungi oleh masyarakat.
“Sudah dalam konsep kita, bahkan hal ini juga sudah kita sampaikan kepada panitia verifikasi hutan adat dari kementerian salah satu tujuan kita menjaga hutan adat ini adalah untuk dikelola menjadi Bumdes,” kata Ari. (Ans)