Aksaraloka.com, LANDAK – Komunitas masyarakat adat Dayak Balangin di Dusun Engkalong, Desa Nyayum, Kecamatan Kuala Behe, Kabupaten Landak, melaksanakan tradisi ritual Baremah Bapuar merayakan tahun baru padi, yang merupakan tradisi yang dilakukan pada awal masa panen padi di setiap tahunnya. Sabtu, 8 Maret 2025.
Dalam tradisi yang dilakukan setiap bulan Maret ini beberapa rangkaian ritual dilaksanakan sejak pagi harinya, dimulai dari ritual doa adat di lokasi keramat Panyugu Ijak Panggung.
Pada sekitar pukul tiga sore, rangkaian ritual kembali dilanjutkan dengan melakukan arak-atakan atau pawai berkeliling kampung sambil memikul tandu berupa sampan dengan iringan musik dari gong dan gendang.
Warga terutama anak-anak muda yang mengikuti pawai sambil bermain musik, juga turut menari sambil berteriak menambah semarak suasana pawai.
Dalam rangkaian ritual ini, warga yang rumahnya dilewati pawai akan menyerahkan beberapa benda untuk disimpan dalam sampan yang ditandu.
Sesekali, rombongan pawai yang turut diikuti ratusan warga yang antusias memenuhi jalan menyaksikan ritual, akan sesekali berhenti sambil menunggu warga menyerahkan barang ke dalam tandu.
Saat tandu berhenti dan diletakkan, warga baik orang tua hingga anak-anak akan menampilkan pertunjukan Kuntau atau Silat khas Dayak.
Panyangahatn atau Imam Doa Adat yang juga merupakan pemangku warisan, Ayeb, menjelaskan bahwa ritual Baremah Bapuar ini merupakan tradisi yang sudah dilakukan masyarakat adat Dayak Belangin sejak zaman nenek moyang dahulu kala.
Tradisi ini sebagai bentuk ucapan syukur atas hasil panen padi, agar padi yang dipanen bisa memberikan kesehatan dan mendatangkan rezeki.
“Namanya Baremah Bapuar tahun baru padi, dari awal mulai panen padi kita melakukan syukuran atas hasil panen agar saat kita makan nasi dari padinya diberi kesehatan serta rejeki yang melimpah,” ujarnya.
Selain itu, dalam prosesi pawai dikumpulkanlah beberapa barang ke dalam perahu, diantaranya berupa bambu bekas kulit lemang, tangkai padi yang tidak berisi, bekas-bekas sampah kulit buah, beras, anak ayam, mperingat, serta beberapa paraga adat seperti tumpi, poe dan lain-lain.
Barang-barang tersebut menurutnya sebagai simbol untuk membuang sial, atau membuang hal-hal buruk serta mengusir roh-roh jahat yang nantinya akan dihanyutkan ke sungai.
“Maka inilah hal-hal yang tidak baik tidak enak itu dihanyutkan, dikasi makan itulah istilahnya ritual adat,” imbuhnya.
Setelah rangkaian pawai berkeliling kampung, sampan yang ditandu kemudian dihanyutkan ke aliran sungai yang kemudian menutup rangkaian ritual.