Kuasa Hukum PAM Sebut Jawaban Kejati Kalbar di Sidang Praperadilan Hanya Normatif

AKSARALOKA.COM, PONTIANAK – Kuasa hukum tersangka kasus korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan kantor pusat Bank Kalbar menilai jawaban Tim Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat tak menjawab keberatan pihaknya terkait penyidikan dan penetapan serta penahanan tersangka yang dilakukan terhadap PAM kliennya yang dinilai tidak sesuai prosedur, Rabu 20 November 2024.

“Kami menilai, jawaban pihak termohon dalam hal ini jaksa, tidak menjawab keberatan kita, misalnya keberatan kita terkait penetapan tersangka yang tak memenuhi minimum dua alat bukti,” kata Irenius Kadem usai ditemui usai persidangan.

Menurut Irenius Kadem, jaksa Kejati Kalbar itu dinilai tak menjawab keberatan terkait penetapan tersangka kliennya yang saat itu, dipanggil untuk perkara orang lain.

“Termasuk juga keberatan tidak adanya ekspose yang dihadiri tersangka dan audit keuangan juga tak ada jawabannya,” ujar Irenius.

Dijelaskan Irenius, jawaban pihak Kejati Kalbar hanya normatif saja. Mereka selalu klaim punya dua alat bukti yang sah. Namun, tak menjabarkan dua alat bukti yang berhubungan dengan hubungan pokok perkaranya seperti apa.

“Mereka tak menjabarkan itu. Seharusnya ketika penyidik berani menetapkan orang tersangka, paling tidak orang sudah mengetahui perbuatan apa yang dilakukan sehingga dijadikan tersangka,” ungkapnya.

Dikatakan Irenius, jawaban jaksa hanya menyebut ada pemeriksaan para saksi dan surat ini, dan itu yang dianggap sudah mencukupi menurut termohon. Sementara bukti kerugian negara belum ada.

Ia menilai, penyidik kurang memahami roh dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menjamin hak asasi tersangka atau terdakwa dengan mengedepankan bukti permulaan yang cukup dalam menetapkan orang sebagai tersangka.

“Makanya keberatan kita lebih diorientasikan kepada pokok perkara. Jaksa tidak memahami roh keputusan Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.

Sementara itu, Alfonsius Girang menilai, jawaban jaksa tak sesuai dengan roh putusan MK 21. Jaksa juga tak mampu menunjukan perbuatan kliennya sehingga ditetapkan tersangka.

“Ada gak hubungan alat bukti dengan orang yang ditersangkakan. Sehingga orang yang dijadikan tersangka mengetahui, perbuatan apa yang dilakukan sehingga mereka ditersangkakan,” tegas Alfonsius.

Namun dari jawaban jaksa, perbuatan melawan hukum belum tergambar. Jaksa hanya memberi jawaban normatif dan mengedepankan peraturan yang berlaku di internal mereka, misalnya ada perintah Jaksa Agung dan surat Jaksa Agung .

“Tapi tak mengupas apa yang jadi roh keputusan MK nomor 21,” ucap Alfonsius.

Alfonsius juga berharap, konsistensi pengadilan dalam perkara ini sebagaimana Ia putusan praperadilan nomor 12 yang membatalkan penetapan tersangka kepada SDM, MF dan SI. Sebab, tidak mungkin dalam perkara ini ada tersangka tunggal. Disamping itu, sudah tidak ada lagi orang yang punya wewenang dan jabatan yang ditetapkan sebagai tersangka.

“Tak mungkin korupsi dilakukan orang luar yang tak memiliki jabatan dan kewenangan,” ungkapnya.

“Kita yakin hakim konsisten, kepastian hukum akan selalu dijaga lembaga peradilan. Ini yang kita harapkan dalam perkara ini,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!