BULUNGAN – Dari balik rimbunnya hutan Kalimantan Utara, suara perempuan adat Long Pelban akhirnya menggema.
Bukan lewat pidato di gedung megah atau forum pembangunan, melainkan melalui pameran virtual yang menjadi ruang hidup sekaligus medan perlawanan.
Hari ini, 24 Mei 2025, Inaya Kayan Indonesia resmi meluncurkan Suara dari Hulu: Tubuh, Alam, dan Perlawanan Perempuan Uma’ Kulit—sebuah pameran daring yang mengangkat kisah perempuan adat dari Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, yang selama ini disisihkan dari proses pembangunan.
Lebih dari sekadar galeri digital, pameran ini adalah pernyataan sikap.
Di tengah tekanan pembangunan PLTA Kayan dan ekspansi industri ekstraktif lainnya, karya-karya yang ditampilkan lahir dari luka dan keberanian.
Dari tubuh yang direnggut ruangnya, dari alam yang dirampas suaranya, perempuan adat Long Pelban bersuara—dengan tanah sebagai saksi dan seni sebagai senjata.
“Perempuan Long Pelban bukan penonton pembangunan. Mereka penjaga hutan, perawat ladang, dan penentu musim. Tapi suara mereka terus diabaikan. Pameran ini adalah penolakan atas dilupakannya mereka,” kata Meta Septalisa, Ketua Inaya Kayan Indonesia.
Sebanyak sepuluh seniman muda Kalimantan menyumbangkan karya—mulai dari instalasi, ilustrasi digital, patung tanah liat, hingga video—yang menggambarkan keterhubungan tubuh perempuan dengan alam, serta ancaman yang mengintai keduanya.
Kekacauan, kehilangan, dan harapan mengalir dalam tiap karya, menghadirkan lanskap emosional yang kuat dan menggugah.
Salah satu segmen paling menyentuh adalah Points of Listening, rekaman suara hutan Kalimantan Tengah selama 24 jam penuh.
Di sana, pengunjung diajak tak sekadar melihat, tapi juga mendengar—gemerisik daun, nyanyian burung, dengung serangga, dan desau angin—suara-suara yang perlahan dibungkam oleh deru mesin pembangunan.
Pameran ini dapat diakses secara daring selama satu bulan penuh, terbuka bagi siapa saja, kapan saja.
Namun, Meta menegaskan, pameran ini bukan akhir. Inaya Kayan berencana memperluas ruang serupa ke Kalimantan Timur dan Selatan, menjalin koneksi lintas wilayah, serta merekam lebih banyak kisah dan praktik kearifan lokal perempuan adat dalam menghadapi krisis iklim.
“Kami mengajak publik tak hanya menyaksikan, tapi juga mendengar, merasakan, dan bergerak bersama. Keadilan iklim hanya mungkin tercapai jika kita menghormati pengetahuan lokal dan memulihkan suara perempuan,” ujar Meta.
Peluncuran ini merupakan bagian dari kerja kolaboratif jangka panjang antara komunitas, seniman, dan mitra seperti YAPPIKA-ActionAid, yang mendukung ruang aman bagi suara perempuan adat dan perjuangan komunitas untuk keadilan iklim.