PT Kapuas Permata Medifarma Terancam Dipolisikan Mantan Komisaris

PONTIANAK – PT Kapuas Permata Medifarma terancam dipolisikan oleh Yuda Wiliam selaku mantan komisaris, lantaran hak beruapa saham senilai Rp 2,1 miliar tidak diberikan hingga saat ini.

Hal ini disampaikan Yudha Wiliam melalui Penasehat Hukumnya, Raymundus, Minggu (11/6/2023).

Raymundus menilai, selama kliennya bekerja di PT Kapuas Permata Medifarma, diduga terjadi perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pihak perusahaan.

“Dengan perbuatan melawan hukum, pihak perusahaan mencoba menggeser kliennya dari jabatannya sebagai komisaris. Dengan cara-cara yang tidak sesuai prosedur dan penuh tekanan. Sehingga dengan kondisi yang telah dibuat perusahaan, kliennya diajak untuk membicarakan hak-hak yang akan didapatkannya,”ungkap Raymundus.

Raymundus mengatakan, dengan surat pernyataan yang disodorkan perusahaan seolah-olah kliennya yang membuatnya.

Dengan poin-poin menekan dan mengancam, diantaranya enam generasi tidak boleh bekerja di bidang yang sama dan di perusahaan manapun selama lima tahun, baik keluarga langsung atau tidak, keturunan dan lainnya.

Dilarang membangun bisnis yang sama, dilarang menjadi broker dan dilarang membocorkan rahasia perusahaan.

“Surat pernyataan tersebut jelas ditolak kliennya. Dan jika dilihat dari kacamata hukum, kesepakatan yang dibuat oleh perusahaan tidak didasari itikad baik. Karena isi surat pernyataan berisikan pengancaman,”ungkap Raymundus lagi.

“Ini bukan lagi sekedar ancaman. Tetapi sudah merupakan pembunuhan karakternya,” sambung Raymundus.

Raymundus mengatakan, karena kliennya menolak menandatangani surat pernyataan itu, membuat haknya yakni deviden dan restetusi aset tidak dibayarkan perusahaan.

Bahkan terjadi negosiasi dari perusahan, dimana haknya dari Rp2,1 miliar ditawar menjadi Rp1,8 miliar, ditawar lagi menjadi Rp1,2, ditawar lagi menjadi Rp1,1 miliar hingga akhirnya ditawar menjadi sisa Rp400 juta. Jelas ini sangat tidak masuk akal.

“Bayangkan dalam surat pernyataan itu, ada poin yang isinya bahwa klien saya tidak pernah melangsungkan pernikahan. Ini surat pernyataan yang patut dipertanyakan ada apa. Dari kaca mata hukum jelas ini sudah ada niat jahat perusahaan,” beber Raymundus.

Raymundus menyatakan, karena tidak ada itikad baik dan sudah memiliki niat jahat untuk menghilangkan hak kliennya, maka pihaknya akan mengambil langkah hukum dengan melaporkan PT Kapuas Permata Medifarma ke kepolisian atas dugaan penggelapan uang Rp2,1 miliar dan dugaan pencucian uang.

Raymundus menjelaskan, saat bertemu dengan kuasa hukum perusahaan, dirinya juga sudah meminta agar perusahaan membayarkan hak kliennya dengan angka negosiasi yang ketiga yakni Rp1,2 miliar.

“Tetapi ternyata perusahaan tidak berkeinginan untuk melaksanakan kewajibannya. Bahka mengirimkan undangan untuj RUPS luar biasa, dan isi surat tersebut sangat memutar balikan fakta,”tuntas Raymundus.

Sementara itu Yudha William, mantan komisaris PT Kapuas Permata Medifarma tengah berjuang mencari keadailan.

Pasalnya, setelah situasi kantor sudah tidak lagi harmoni, Yudha merasa dipaksa berhenti sebagai komisaris diperusahaan yang bergerak bidang kesehatan, haknya berupa uang sebesar kurang lebih Rp2,1 miliar atas kepemilikan saham sebesar 15 persen tidak kunjung diberikan perusahaan.

Yudha William membeberkan, PT Kapuas Permata Medifara berdiri pada 2014. Dengan susunan pengurus, Direktur Utama adalah Tarsesius dan komisaris bernama, Hermawan. Kemudian dalam perjalannya, pada 2018, Tarsesius mundur dari jabatannya.

“Dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), Hermawan diangkat sebagai direktur. Sementara saya masuk di perusahaan awal 2019 sebagai komisaris,” ungkap Yudha, Minggu (11/6/2023).

Yudha menerangkan, tiga bulan bekerja atau tepatnya, pada Maret 2019, Hermawan mengundurkan diri dari jabatannya.

Dirinya lalu diminta untuk mencari pengganti dengan komposisi saham, Johan sebagai pemilik utama dengan kepemilikan saham sebesar 85 persen, dirinya sebagai komisaris mendapat bagian saham sebesar 15 persen dan Heru Laksinto menduduki jabatan sebagai direktur.

“Struktur kepengurusan perusahaan ini akhirnya disahkan, pada pelaksanaan RUPS di Agustus-September 2019,” ungkap Yudha.

Yudha menuturkan, pada Maret 2023, Heru Laksinto hendak mengambil kepemilikan saham dirinya sebesar 15 persen. Sementara jabatannya diambil oleh orang lain.

Untuk diketahui, bahwa ketika dirinya pertama kali masuk ke perusahaan, ia tidak memiliki saham apapun. Setelah berhasil menjual alat kesehatan dengan pendapatan sebesar Rp2 miliar, bagian dari pendapatan itulah yang kemudian diinvestasikan ke perusahaan.

“Saya dapat saham ini dari hasil keringat sendiri. Ketika mendapatkan omset dari menjual alat kesehatan, ada uang bagian saya yang tidak diambil. Tetapi langsung diinvestasikan ke perusahaan,” cerita Yudha.

Setelah mendapatkan saham 15 persen, lanjut Yudha, ia mendapatkan hak kepemilikan perusahaan. Dimana setiap bagian yang didapat terus diinvestasikan ke perusahan hingga akhirnya ia memilih untuk berhenti sebagai komisaris, karena sudah dibuat tidak nyaman.

“Total investasi saya yang dicatat dengan bukti rekapan yang dikeluarkan bagian keuangan perusahaan sebesar kurang lebih Rp2,1 miliar. Dan itu adalah hak saya,” terangnya.

Yudha menjelaskan, masalah mulai muncul, ketika perusahaan secara perlahan-lahan mempersiapkan orang yang akan menggantikannya sebagai komisaris. Akhirnya pada Maret 2023 ia memilih untuk mengundurkan diri.

“Ketika saya memilih untuk mundur langsung dimanfaatkan perusahaan menjadikan orang yang disiapkan untuk duduk sebagai komisaris dengan hak saham 15 persen. Dan ketika resmi mundur, perusahaan menyatakan hak saya sebesar Rp2,1 miliar akan dibayarkan,” terang Yudha.

Tetapi, dia menambahkan, ketika perusahaan akan membayarkan haknya, dirinya dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan yang dibuat oleh perusahaan dengan poin-poin yang merugikan dirinya, salah satu contoh ia dan keluarganya hingga enam generasi tidak diperbolehkan bekerja di bidang yang sama, meski di perusahaan yang dengan profesi apapun yang berbeda selama lima tahun. Jika itu dilakukan maka akan didenda sebesar Rp5 miliar.

“Jika bersedia menandatangani surat pernyataan itu, maka hak saya akan dibayarkan tetapi setelah dipotong piutang perusahaan, potongan barang kadaluarsa. Aneh kok jadi dibebankan kepada saya. Maka surat pernyataan itu tidak saya tandatangani,” cerita Yudha.

Yudha menuturkan, singkat cerita kemudian perusahaan mengeluarkan surat rekapan pembayaran hak dirinya dari Rp2,1 miliar menjadi sisa kurang lebih Rp400 juta.

Karena tidak mau menandatangani surat pernyataan dan menerima hak yang sudah dipotong perusahaan, dirinya malah mendapat surat somasi yang isinya berupa ancaman, bahwa ia akan dilaporkan ke kepolisian.