Aksaraloka.com, PONTIANAK-Penyidik Jaksa Kejati Kalimantan Barat, Eka Hermawan tak mampu menjawab pertanyaan hakim tunggal pra Pengadilan Negeri Pontianak, Joko Waluyo terkait dengan perbuatan melawan hukum atau pidana tersangka SDM (Mantan Dirut), SM (mantan Dirum) dan F (Ketua Panitia Pengadaan) atas kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan kantor pusat Bank Kalbar pada tahun 2015 lalu.
Hal ini terjadi pada agenda pemeriksaan saksi untuk pembuktian akhir persidangan pra peradilan yang diajukan tiga tersangka dan pengacara, Herawan Utoro.
Eka Hermawan merupakan salah satu penyidik Kejati Kalbar sebagai saksi yang dihadirkan tim jaksa pra peradilan Kejati Kalimantan Barat.
Pertanyaan tersebut bermula dari pengacara tiga tersangka menanyakan kepada Eka Hermawan, yakni apa perbuatan tiga kliennya sampai disebut tersangka korupsi, modusnya bagaimana, pemufakatan jahat apa, dan sebagainya, apa yang dilanggar dan sebagainya.
Herawan pun meminta kepada Eka Herawan selaku salah satu penyidik untuk menguraikan apa yang dipertanyakan agar dapat didengar di dalam persidangan pra peradilan.
Karena bagi Herawan, mulai dari kliennya diperiksa hingga sampai pembuktian akhir dalam persidangan pra peradilan tak ada satupun dijawab oleh Kajati Kalbar melalui Tim yang telah diutus maupun jaksa penyidik yang dihadirkan sebagai saksi.
Eka Hermawan pun menerangkan bahwa pihaknya merujuk pada aturan internalnya yang disebut dengan Kepja. Sesekali Eka juga menyatakan bahwa ini tidak ada kaitannya dengan materi pra peradilan, melainkan itu merupakan masuk ke substansi perkara pokok.
Herawan pun dengan lantang menyatakan, bahwa apabila jaksa benar dan sesuai prosedur tentunya ini dijawab sepenuhnya oleh jaksa hingga terjawab dan menjadi suatu kebanggaan bagi institusi jaksa yang telah mengungkap kasus Tipikor.
“Ini malah sebaliknya, harusnya diungkapkan jawabannya atas pertanyaan kami itu, menetapkan dan menyebut seseorang sebagai tersangka itu mudah, tapi perbuatannya apa, uraikan dong!,” ucap Herawan.
Eka Hermawan pun menjelaskan bahwa sesuai dengan Kepja pihaknya tidak perlu secara detail terkait perbuatan, modus dan peristiwa pidana yang terjadi.
“Jawaban apa itu tidak perlu?, itu Bukan jaksa republik!, harusnya dijelaskan di persidangan,” celetuk Herawan.
Hakim pun mencoba untuk menengahi
atas permintaan Herawan Utoro yang menuai perdebatan dengan Tim Jaksa Kejati Kalimantan Barat.
Di mana hakim pun bertanya kepada Eka Hermawan jaksa penyidik Kejati Kalbar tersebut terkait hal serupa.
Namun Eka tak mampu menjawab dan menyatakan tidak perlu mengurai secara detail perbuatan tersangka, lantaran sudah sesuai dengan Kepja.
Selain itu Eka Hermawan juga menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana korupsi kemudian menetapkan seseorang sebagai tersangka, namun belum ada penghitungan keruginan negara dibenarkan, hal ini tertuang pada SUJA.
Namun dengan catatan indikasi kerugian negaranya ada dan memiliki dua alat bukti yang cukup.
Kendati begitu Eka Hermawan juga membenarkan bahwa belum ada kerugian negara, karena sedang dalam tahap penghitungan dari ahli BPKP.
Sementara itu pada pemeriksaan ahli BPKP yang dihadirkan Tim Jaksa Kejati Kalbar atas nama Tri Munardi selalu ahli auditor BPKP, juga berlangsung sengit perdebatan antara Herawan Utoro dan Tim Kejati Kalbar.
Pada pemeriksaan ahli auditor dari BPKP tersebut, ahli menyatakan bahwa permintaan audit oleh Kejati Kalbar benar adanya. Di mana pihak Kejati Kalbar telah mengajukan penghitungan keruginan negara.
Sehingga terjadi gelar antara pihak Kejati dan BPKP. Hingga akhirnya permintaan tersebut dikabulkan dengan adanya surat tugas Tim Auditor BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian negara dan sudah sesuai dengan prosedur yang ada.
Di mana saat ini penghitungan tersebut sedang berlangsung dan pasti akan ada kerugian negaranya.
Dugaan penyimpangan yang diketahui BPKP pada pengadaan tanah bank Kalbar tersebut, diungkapkan oleh Tri Munardi, yakni terkait SOP Direksi. Namun dirinya tak mampu menguraikannya.
Sebelum sidang ditutup, Tri Munardi mendapat pertanyaan dari hakim, yakni terkait dengan pengadaan tanah bank Kalbar pad tahun 2015 lalu yang disebut ada indikasi kerugian negara.
Kemudian diketahui tanah tersebut sudah menjadi aset Bank Kalbar, kemudian apabila harga tanah yang saat ini menjadi milik Bank Kalbar tersebut mengalami kenaikan harga, apakah itu disebut ada kerugian negaranya?
Tri Munardi menyatakan peningkatan nilai tanah tersebut masuk keuntungan negara.
Kemudian Herawan Utoro kembali menyela pertanyaan, apakah harus berdasarkan KJPP? Tri Munardi membenarkan persoalan KJPP tersebut.
Herawan Utoro saat ditemui usai persidangan dirinya menyatakan bahwa kalau perkara ini ada alat buktinya, pasti jaksa dengan mudah menjelaskan di dalam persidangan terkait dengan apa perbuatan pidananya, bagaimana rincian perbuatannya terkait dengan hubungan satu sama lain, kemudian bagaimana cara melakukannya, apa bentuk pemufakatan jahatnya seperti apa.
“Ini kan tidak sama sekali dijawab, atau dijelaskan,” kata Herawan.
Dikatakan Herawan, jaksa hanya menduga saja, rincian sama sekali tidak ada.
“Artinya menunjukan bahwa kasus ini tidak memenuhi syarat untuk disidik, menetapkan tersangka dan melakukan penahanan,” tegas Herawan.
Kemudian terkait dengan belum ditemukannya kerugian negara, bagi Herawan, harusnya dalam kasus tindak pidana korupsi harus ada bukti kerugian negara dulu baru menetapkan tersangka.
“Dalam pengadaan ini terungkap fakta tidak merugikan keuangan negara, karena menguntungkan Bank Kalbar, karena sekarang nilainya sudah diatas Rp20 juta. D mana awalnya hanya Rp11,9 juta,” ungkap Herawan.
“Kita lihat tadi, mereka tidak bisa menjelaskan. Seakan pemohon ini pencetan rugi bank Kalbar, padahal sudah kita kasi ruangd an waktu seluas-luasnya,” sambung Herawan.
Persoalan SUJA yang dijelaskan Eka Hermawan, Herawan Utoro menyatakan itu merupakan ketentuan internal mereka dan tidak sesuai KUHAP.
“Dalam menentukan dugaan korupsi, harusnya jaksa tidak terburu-buru terutama terkait penetapan tersangka, sebelum adanya kerugian negara,” ujar Herawan.
Berdasarkan fakta persidangan yang ada, Herawan berharap Prapradilan yang diajukan kliennya atau pemohon dapat dikabulkan majelis hakim, artinya berkenaan dengan penyidikan yang tidak sah,
kemudian bukti permulaan dan perbuatan keadaan pada pemohon yang tidak bisa dijelaskan jaksa.
“Berharap hakim untuk mengoreksi dan membatalkan penyidikan jaksa,” harap Herawan.