Hukum dan Kriminal

Kejati Kalbar Diduga Mainkan Abuse Of Power pada Kasus Pengadaan Tanah Bank Kalbar, Penyidikan yang Dipaksakan, Menyalahi Wewenang dan Dikarang-Karang

×

Kejati Kalbar Diduga Mainkan Abuse Of Power pada Kasus Pengadaan Tanah Bank Kalbar, Penyidikan yang Dipaksakan, Menyalahi Wewenang dan Dikarang-Karang

Sebarkan artikel ini

Aksaraloka.com, PONTIANAK-Sidang praperadilan tentang sah tidaknya penetapan tersangka dan penyitaan barang bukti dugaan korupsi pembelian tanah oleh Bank Kalbar tahun 2015 dengan anggaran sebesar hampir Rp100 miliar kembali digelar Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, Senin 17 Februari 2025.

Sidang dengan agenda pembacaan kesimpulan dari pemohon yakni tersangka SDM, SI dan MI melalui kuasa hukumnya dan pembacaan kesimpulan dari termohon dan turut termohon, Kejaksaan Negeri (Kejari) Pontianak dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat dibuka hakim tunggal, Dicky Ramdhani sekitar pukul 14.30 Wib.

Dalam persidangan tim kuasa hukum pemohon, yakni Herawan Utoro dan tim memilih untuk membacakan langsung kesimpulan di depan hakim tunggal.

Sementara dari pihak termohon dan turut termohon memilih hanya menyerahkan dokumen kesimpulan kepada hakim tunggal tanpa membacakan di depan persidangan.

Kuasa hukum pemohon, Herawan Utoro, mengatakan berdasarkan surat permohonan praperadilan, replik dan duplik yang diajukan termohon dan turut termohon, jika dihubungkan satu sama lainnya maka dapat disimpulkan dan diperoleh fakta-fakta yuridis bahwa penyidikan dan penetapan tersangka serta penyitaan atas surat dan atau barang bukti berupa dokumen dan atau berkas pengadaan tanah dan atau surat-surat lainnya yang dilakukan oleh termohon (Kejati Kalbar) dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan tanah Bank Kalbar tahun 2015, tidak memenuhi syarat prosedural dan tata cara yang ditentukan dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

“Ketiga klien kami sebelumnya telah disidik dan ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan oleh Kejati Kalbar dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah. Penyidikan dan penetapan tersangka serta penahanan terhadap ketiga kliennya itu telah dinyatakan tidak sah menurut hukum oleh hakim tunggal praperadilan, pada 12 November 2014 lalu. Namun pada keesokan harinya, Kejati Kalbar kembali menerbitkan surat perintah penyidikan bertanggal Rabu 13 November 2024, berdasarkan hasil ekspose pada hari yang sama,” beber Herawan Utoro.

Menurut Herawan, faktanya dalam persidangan Kejati Kalbar (termohon) tidak dapat mengajukan bukti dokumentasi hasil ekspose yang menjadi dasar diterbitkannya surat perintah penyidikan.

Di mana ekspos tersebut bertentangan dengan akal sehat (common sense) dikarenakan hanya berselang satu hari dari dijatuhkannya putusan praperadilan Kejati Kalbar kembali menetapkan ketiga kliennya sebagai tersangka.

“Dalam persidangan terungkap jelas bahwa laporan hasil ekspose perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah 13 November 2024 oleh Kejati Kalbar dari bukti yang diajukan ternyata tidak sesuai dikarenakan tidak didukung dengan dokumentasi hasil ekspose. Berdasarkan Sprindik tersebut, jaksa penyidik melakukan pemeriksaan kembali terhadap kliennya sebagai SAKSI dan terhadap saksi-saksi serta ahli yang pernah diperiksa sebelumnya ternyata hanya merubah waktu (hari dan tanggal) kemudian disalin menjadi berita acara pemeriksaan (BAP) ketiga kliennya sebagai saksi, demikian pula dengan saksi-saksi lainnya dan ahli,” kata Herawan.

Herawan menyatakan, berdasarkan surat perintah penyidikan ternyata jaksa penyidik tidak melakukan penyitaan kembali terhadap surat dan atau barang bukti berupa dokumen dan atau berkas pengadaan tanah dan atau surat-surat lainnya.

Dan penyitaan yang dilakukan jaksa ternyata berdasarkan penyidikan yang telah dinyatakan tidak sah oleh hakim praperadilan sebelumnya.

Sehingga konsekuensi hukum terhadap penyitaan terhadap barang bukti tersebut, harus dinyatakan tidak sah menurut hukum dan atau dibatalkan dan atau dinyatakan batal demi hukum, karena tidak termasuk alat pembuktian.

“Permintaan kembali terhadap audit perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) kepada BPKP Kalbar atas perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah yang diajukan oleh kejaksaan sebelumnya berdasarkan penyidikan yang kemudian telah dinyatakan tidak sah oleh hakim praperadilan sebelumnya, sehingga konsekuensi hukumnya permintaan audit PKKN atau laporan hasil audit yang diterbitkan tersebut Juga tidak termasuk sebagai alat pembuktian,” tegas Herawan.

Lanjut Herawan, terhadap putusan praperadian sebelumnya, ternyata sikap penyidik mendua. Disatu sisi menerbitkan Sprindik kembali, melakukan pemeriksaan kembali terhadap saksi dan ahli ternyata dari bukti BAP saksi dan ahli hanya merupakan BAP salinan dari BAP sebelumnya.

Di sisi lain, jaksa Kejati Kalbar ternyata tidak mengajukan permintaan audit kembali serta tidak melakukan penyitaan kembali.

“Anehnya, dari jawaban termohon (jaksa Kejati Kalbar) di persidangan yang lalu menyatakan tidak perlu mengajukan permintaan audit kembali, tidak melakukan penyitaan kembali dengan dalih yang menjadi dasar penyitaan dan permintaan audit PKKN adalah sprindik dari Kepala Kejati bertanggal 19 Juli 2024 atas nama Paulus Andy Mursalim dan ditolaknya permohonan praperadilan Paulus Andy Mursalim sehingga permintaan audit dan penyitaan dianggap sah dapat dipergunakan dan masih berlaku serta dapat digunakan untuk perkara SDM, SI dan MF,” ungkap Herawan.

“Ini jelas tidak sesuai dengan aturan hukum,” sambungnya.

Perlu diketahui, Sprindik 19 Juli untuk SDM, SI dan MF sudah dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan.

Dengan demikian konsekuensi hukumnya, status penyitaan terhadap barang bukti tersebut, harus dinyatakan tidak sah menurut hukum dan atau dibatalkan dan atau dinyatakan batal demi hukum karena tidak termasuk alat pembuktian.

“Status permintaan audit PKKN tersebut tidak memenuhi kriteria sehingga laporan hasil audit yang diterbitkan tersebut juga tidak termasuk alat pembuktian,” tegasnya lagi.

Herawan mengatakan, bukti-bukti yang dihadirkan Kejati Kalbar jelas tidak valid, karena tidak memenuhi persyaratan hukum dan peraturan perundang undangan berkaitan dengan sumber dan cara perolehan bukti.

Herawan menegaskan pula, dalam dugaan korupsi pembelian tanah, fakta di persidangan dengan jelas memperlihatkan bahwa jaksa tidak mampu menjelaskan secara sederhana konstruksi penyidikan kasus korupsi yang dituduhkan.

Jaksa hanya mendalilkan kesimpulan yakni mufakat jahat, pelanggaran SOP, mark up harga tanah dan kelebihan pembayaran serta adanya kerugian keuangan negara tanpa mampu menunjukkan dan menguraikan secara jelas dan sederhana apalagi secara cermat, jelas dan lengkap peristiwa pidana korupsi pembelian tanah yang ditemukan.

“Dalam sidang jaksa tidak mampu menjelaskan peristiwa pidana, bukti permulaan, perbuatan dan keadaan yang menjadi dasar ketiga kliennya ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan jaksa tidak mampu menjelaskan bukti yang cukup dugaan korupsi, perbuatan, hubungan ketiga kliennya dengan tersangka lainnya hingga modus operandi,” bebernya lagi.

Herawan menyatakan, kesimpulan jaksa dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah tersebut hanya didasarkan persepsi dan asumsi, dikarang dan atau ditukangi oleh jaksa sendiri.

Bahkan dalam sidang, pihaknya telah meminta kepada jaksa untuk menjelaskan, apakah objek penyelidikan yang dilakukan Kejari Pontianak dan Kejati Kalbar memiliki persamaan atau perbedaan. Namun pertanyaan itu tidak mendapat jawaban.

“Penyelidikan dan penyidikan Kejati Kalbar Tahun 2024 itu merupakan pendalaman Kembali terhadap Penyelidikan Kejari Pontianak Tahun 2022. Berdasarkan laporan hasil penyelidikan Kejari Pontianak Tahun 2022 menunjukkan bahwa terhadap pengadaan tanah tersebut tidak ditemukan adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana korupsi sehingga tidak dapat dilakukan penyidikan. Belum ditemukan perbuatan melawan hukum. Belum ditemukan sebagai kerugian keuangan negara karena termasuk ranah perdata. Sementara penyelidikan Kejati Kalbar tahun 2024 materinya sama dengan penyelidikan Kejari Pontianak tahun 2022,” terang Herawan.

Herawan menjelaskan, pengadaan tanah Bank Kalbar diperoleh dengan cara jual-beli, sehingga penawaran dan penjualan serta penerimaan hasil pembayarannya melalui penerima kuasa, tidak melanggar SOP.

Bukan pengadaan tanah yang diperoleh dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau dari pembebasan tanah. Adanya klausul yang terdapat dalam SOP terkait pengadaan tanah yang diperoleh dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau dari pembebasan tanah tentunya tidak bisa diterapkan dalam pengadaan tanah yang diperoleh dengan cara jual-beli.

“Dari laporan hasil penyelidikan Kejari Pontianak tahun 2022, adanya penandatanganan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dan akta jual beli tanah (AJB) dengan harga pembelian yakni sebesar Rp.11.925.000 meter persegi dengan jumlah keseluruhannya Rp 94 miliar sudah dibayar dengan dua tahap pembayaran dengan jumlah pembayaran sesuai dengan harga dan luas tanah yang dimiliki masing-masing pemilik tanah. Sehingga tidak terdapat selisih pembayaran, berdasarkan bukti-bukti surat berupa akta-akta dan atau surat terkait pengadaan tanah yang dibuat di Notaris. Kemudian Harga pembelian tanah lebih murah dari penilaian kantor jasa penilaian publik,” ungkapnya lagi.

Herawan memberikan ingatkan kembali kepada Kejati Kalimantan Barat, pada 2016 pengadaan tanah ini, juga pernah dilaporkan ke Kejati Kalbar setelah dilakukan klarifikasi dan pemeriksaan oleh jaksa atas nama Fatwa K. Sembiring dinyatakan tidak ditemukan adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana korupsi sehingga sesuai dengan KUHAP, tidak dapat dilakukan penyidikan.

Dan terhadap rencana pengadaan tanah, berdasarkan permintaan ketiga kliennya telah didampingi oleh tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) dari bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejati Kalbar sejak bulan Oktober 2015 yakni Warman Widianta Dan kawan-kawannya yang pelaksanaannya diketahui oleh Kajati Kalbar.

Herawan menyebutkan, dalam pendampingan tim JPN Kejati Kalbar telah melakukan pemeriksaan berkas pengadaan tanah ini, terhadap 15 SHM yang akan dibeli oleh Bank Kalbar, pada 20 Oktober 2015 dengan melakukan pemeriksaan ke Kantor Pertanahan Kota Pontianak, Ketua Pengadilan Negeri Pontianak dan Ketua PTUN Pontianak dan diperoleh hasil bahwa 15 SHM tersebut tidak terdapat sengketa perdata dan tata usaha negara.

Kemudian pada 22 Oktober 2015, tim JPN memberikan pendapat hukum (legal opinion) terhadap pengadaan tanah tersebut telah memiliki dokumen legalitas yang sah dan bersertifikat serta tidak dalam sengketa, dengan demikian proses penandatangan PPJB dan pembayaran uang muka tahap pertama sebesar 20 persen dilakukan hingga pendapat hukum untuk pembayaran tahap kedua agar pihak penjual memenuhi pembayaran pajak Pph sebelum pembayaran dilakukan.

“Berdasarkan dan beralasan yuridis serta pembuktian yang cukup menurut hukum dalam alasan pihaknya, maka jelas penyidikan dan penetapan tersangka ketiga kliennya yang dilakukan oleh Kejati Kalbar di tahun 2024/2025 tidak memenuhi syarat prosedural dan tata cara yang ditentukan dalam hukum acara pidana yang berlaku. Tidak didasarkan dengan bukti permulaan dan bukti yang cukup dan atau minimal dua alat bukti yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP.

“Tindakan jaksa Kejati Kalbar menetapkan ketiga kliennya sebagai tersangka telah melampaui tugas dan wewenangnya yang mengandung kecongkakan kekuasaan, menyalahi dan melampaui wewenang yang tidak hanya melanggar (abuse of power), mengingkari, tidak menghormati hukum acara pidana, akan tetapi telah pula melanggar dan merugikan hak ketiga kliennya sebagai warga negara Indonesia. Sehingga penyidikan dan penetapan tersangka tersebut tidak sah menurut hukum,” tegas Herawan.

Herawan menambahkan, demi tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat serta untuk memulihkan ketidak-adilan dan kerugian yang diderita oleh ketiga kliennya, pihaknya yakin peradilan akan mengabulkan permohonan prapedilannya dengan menjatuhkan putusan menyatakan penyidikan dan penetapan terhadap ketiga kliennya tidak sah dan batal demi hukum.

Sementara itu Kasipenkum Kejati Kalbar, Wayan Gedin Irianta ketika dikonfirmasi terkait hal ini, dirinya enggan memberikan komentar. (Zrn)