Soal Hakim Vonis Bebas Mafia Tanah, Pengamat Hukum Minta Komisi Yudisial “Jangan Tidur”

AKSARALOKA.COM, PONTIANAK – Pengamanat hukum dan kebijakan publik Pontianak, Kalimantan Barat Herman Hofi Munawar, meminta Komisi Yudisial jangan tidur.  Hal tersebut terkait dengan vonis bebas hakim Pengadilan Negeri Pontianak terhadap dua terdakwa kasus dugaan mafia tanah.  “Kita harap Komisi Yudisial jangan tidur. Komisi Yudisial kan ada perwakilannya di Pontianak,” kata Herman kepada aksaraloka.com, Rabu (27/4/2022).

Menurut Herman, tugas Komisi Yudisial dan perwakilannya di Pontianak adalag memonitor kinerja hakim. “Saya harap ada langkah-langkah yang dilakukan Komisi Yudisial dalam menanggapi hal ini,” ujar Herman.

Menurut Herman, kelompok mafia tanah sebenarnya tidak ramai. Begitu pula dengan tanah yang dikuasai, milik segelintir orang saja. “Dampak dari mafia tanah ini sendiri sangat jelas, lahan fungsi publik,” ujarnya.

Selain itu, saat ini mafia tanah semakin berani, karena semua sudah tersistem. Mafia tanah ini adalah sebuah tim yang memiliki latar belakang berbagai profesi untuk mempermudah proses peralihan hak tanah secara ilegal agar mendapatkan keuntungan secara ekonomi. “Untuk modus sendiri bermacam-macam, biasanya tergantung lokasi tanah yang hendak dirampas,” sebutnya.

Sebelumnya, IS (56) dan AB (50), terdakwa kasus dugaan mafia tanah, yang merugikan korban Rp 2 miliar divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar). Padahal sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Kalbar menunut pidana pe jara 2,5 tahun dikurangi masa tahanan dan menyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan serta penggelapan.  Atas putusan tersebut, jaksa penuntut umum pastikan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Latar Belakang Perkara

Perkara dugaan mafia tanah ini bermula tahun 2014. Saat itu, korban bernama Syukur, bertemu dengan AB dan IS atas perantara YN, mereka menawarkan sebidang tanah seluas 10 hektare depan bekas kantor PT Wana Bangun Agung (WBA), di Jalan Desa Kuala Dua, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya.

Awalnya, tanah tersebut dipatok seharga Rp 250.000 per meter. Setelah proses negosiasi, disepakati seharga Rp 200.000 per meter.  “Saya tanya ke mereka, apakah tanahnya sudah bersertifikat, dijawab belum. Tapi, mereka menjamin 1.000 persen, bahwa tanah itu milik mereka dan tidak bermasalah,” kata Syukur.

Untuk meyakinkan Syukur, IS dan AB menunjukkan surat jual beli tanah, peta bidang yang dikeluarkan oleh kepala desa setempat dan surat pernyataan tentang penguasaan tanah yang juga diketahui oleh kepala desa.

Keduanya juga menyanggupi dan berjanji akan mengurus sertifikat tersebut. “Sekitar Oktober 2014, IS dan AB meminta uang sebagai tanda jadi untuk mengurus sertifikat tanah. Lalu saya serahkan uang tunai sebesar Rp 300 juta, dengan dibuatkan bukti kwitansi,” ucap Syukur.

Kemudian, lanjut Syukur, secara bertahap, sampai tahun 2016, telah diberikan uang baik secara tunai maupun transfer kepada IS dan AB, dengan total Rp 2,19 miliar. “Semua bukti penyerahan tercatat dalam akuntansi,” kata Syukur.

Petaka bagi Syukur tiba bulan Desember 2016. Ketika itu, datang seseorang yang menerangkan, bahwa tanah yang akan dibelinya itu telah memiliki sertifikat atas nama orang lain. Orang tersebut juga menunjukkan surat-surat bukti kepemilikan.

Tak puas sampai di situ, Syukur juga segera mengkonfirmasi kepada pihak BTN Kubu Raya. Dan ternyata, obyek tanah tersebut saat ini telah dikuasai orang lain berdasarkan sertifikat hak miliki bernomor 3.846, yang dikeluarkan pada tahun 1982. “Dari situ saya kemudian tahu bahwa tanah tersebut bermasalah,” ungkap Syukur.

Pihak IS dan IB tetap bersikukuh, bahwa tanah tersebut milik mereka dan malah kembali meminta sejumlah uang untuk mengurus sertifikat tanah. Namun, Syukur tidak mau lagi kecolongan, dengan menyetop memberikan uang tambahan karena merasa telah ditipu, dan meminta uang yang sudah diterima IS dan AB sebesar Rp 2,19 miliar dikembalikan karena awalnya diyakinkan, bahwa jika tanah itu bukan milik mereka, uang akan dikembalikan.

Bahkan, upaya mediasi dan menunggu janji-janji dari IS dan AB memakan waktu hingga 4 tahun, tapi tak juga terealisasi.  “Sampai sekarang uang itu tak pernah kembali. Selama 4 tahun, sempat beberapa kali dilakukan mediasi. Mereka hanya berjanji. Bahkan akhir-akhir ini IS dan AB tidak mau datang,” ucap Syukur.

error: Content is protected !!